Saturday, April 08, 2017

Oh, Ternyata Seteguk Indocafe Cappuccino


Oh, ternyata masih ada Indocafe Cappuccino meski seteguk. Hampir saja aku bangkit mengambil air panas untuk kuisikan dalam cangkir 75 tahun Nescafe-ku. Ternyata masih ada seteguk cairan penyebab perih perut ini. Bukan hanya perut yang dibuatnya perih, melainkan hatiku sekali. Kental-kentalnya bunyi ketika kuaduk dalam cangkir berdinding tebal membawa ingatanku pada tepian Ciliwung, perkampungan tempat tinggal orang susah. Orang-orang yang dilupakan oleh anggota-anggota yang terhormat kelas menengah keparat sepertiku. Ketika itu, aku belum. Kini pun, dalam hatiku, aku masih belum.


'Duhai mengapa begini terikat aku pada kalian, atau pada khayalanku mengenai kalian, atau pada romantisme yang kuciptakan sendiri mengenainya? Tidak saja hati, perasaan dan segenap pikiranku, tetapi syahwat birahiku sekali terikat pada kalian, 'duhai, orang-orang susah. Tidak perlu yang di pedalaman sekali. Mungkin karena aku malas pergi-pergi, namun cukup yang di relung-relung metropolitan ini, yang teknologi tinggi ini. Kalian ada di mana-mana, kalian yang selalu membuatku bergejolak, bergairah, sedangkan aku yang memutuskan untuk mati di gurun bersama macan!

Amboi! Ketololan ini bahkan kubawa sehingga kini! Aduhai, kapan kau akan melepas cengkeramanmu pada kejantananku, sedangkan aku tidak jantan lagi?! Lepaskan, biarkan aku pergi menentukan nasibku sendiri! Bau aroma tubuhmu yang menguar tak sedap terasa bagaikan tantangan, bagaikan himbauan bagiku, untuk meradang menerjang! Peluhmu, kilap-kilap berminyak tubuhmu serasa panggilan, serasa ajakan untuk mencerucupmu, memuaskan dahaga syahwatku. Allah Dewa Batara! Bahkan lenganku kini memeluk erat-erat, rapat-rapat enggan melepaskanmu. Persetan dengan nasibku!

Mungkin, ini baru kemungkinan, aku akan berakhir di sebuah kamar kos-kosan, seperti aku bermula. Tidak, mulaku bukan di sebuah barak atau di geladak apalagi anjungan kapal. Aku selalu saja kamar kos-kosan, bisa temaram, bisa lumayan terang, yang pasti dengan alat tulis entah mesin tik entah komputer. Seperti suatu siang yang panas begitu saja aku ke belakang, ke Rina Rini, [ke mana dia sekarang?] memesan kantong untuk Fujitsu pertamaku. Demikian pula entah suatu pagi atau sudah agak siang aku kembali ke Rina Rini untuk menebus kantong itu. Begitu saja.

Seperti saat aku sok-sokan mencari data di DaviNet lantas menulis-nulis email entah-entah yang bahkan kusimpan rancangannya dalam cakram-kilatku. Bahkan ketika aku sudah makan di Mang Kabayan pun, [seingatku] bahkan ketika aku belum mandi pun, kukonsep ia dalam kepalaku, ketololan itu selalu saja mengulang-ulang dirinya. Berulang dan berulang, seperti lagu lama yang sedap ini. Apakah ini semua terasa sedap sekadar karena kemudaanku saat itu? Akankah terasa sama sedapnya setelah aku setua ini, dibuat bergantung pada candesartan xylecetil 16 mg tiap pagi?

Suatu prospek yang mengerikan, sedang Egom meregang nyawa ketika sedang mengendarai motor. Mendiang pasti sama miskinnya denganku sekarang. Illahi Rabbi... hamba tidak tahu lagi. Setelah ini mungkin tidak ada yang lebih baik kecuali menghabiskan waktu untuk hal-hal yang berguna saja. Tidak meracau mengigau begini. [tapi masih dua paragraf lagi...] Tidak ada lagi memang yang kuharapkan. Benar-benar kuinginkan, tidak ada. Bahkan tidak ada kecuali di sini. Bahkan sekelebatan mie goreng dan fuyunghai sekadar kenangan manis yang pahit untuk diingat-ingat.

Aku tidak suka gagasan bunuh diri. Itu menunjukkan kelemahan. Lebih baik membunuh daripada bunuh diri, dan aku tidak mau membunuh. Entah aku suka atau tidak membunuh, yang jelas baru menyilet seekor cicak menjadi dua pada perutnya saja aku sudah muntah-muntah. Berarti yang lebih besar dari itu sudah tentu aku tidak sanggup. Aku suka gagasan memohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Allah. Hanya itu yang terpikir olehku. Jika ini suatu hukuman, biarlah kucoba menjalani sesabar dan setabah yang aku sanggup, karena mungkin hanya ini yang aku bisa. Lainnya aku tidak bisa.

Seteguk Indocafe Cappuccino itu sudah tiada, digantikan oleh air yang suam-suam kuku saja, ditingkahi oleh dentingan sedih senar gitar Francis Goya, yang akan segera disusul oleh dentingan piano Richard Clayderman. Ya Allah, sibukkanlah hamba dengan meminta ampun kepadaMu. Apa lagi yang dapat hamba pinta? Ada! Ya Allah, hamba mohon jadikanlah hamba pandai mengingatMu, pandai bersyukur padaMu, dan menjadi hambamu yang lebih baik dan lebih baik lagi. Ini dia! Pak Bakti's Introductory Course to the Principles of Indonesia Adat Law? Amin. Asas-asas Hukum Perikanan Indonesia? Amin.

No comments: