Sunday, May 31, 2015

Tentang Honda Kocak, Kepada Togar Tanjung


Kepada Yth. Togar Tanjung di Tempat... Istirahaaattt... Grak!

Sudah lama aku tidak menulis surat. Maksudku, surat yang begini. Beberapa bulan yang lalu, sekitar lima bulanan, aku masih menulis surat. Surat-surat malesin itu, yang pakai nomor. Aku tidak mau menulis surat begitu. Aku mau menulis surat begini. Ini seperti surat yang ditulis di atas kertas khusus. Kertas surat. Biasanya tipis, tapi kalau untukmu tidak perlu yang harum 'lah. Sudah gila apa?! Nah, itu dia, karena surat gila seperti ini hanya mungkin kutujukan padamu. Masa kepada Dekan FHUI Prof. Topo Santoso, SH., MH., Ph.D? Sudah gila apa?!

Baiklah langsung tudepoin aja. Aku tidak setuju jika kau mengatakan Honda Kocak sebagai idola barumu. [Cak, maaf namamu terpaksa kuanagram. Aku takut sampeyan masih bisa ge-er kalau kutulis namamu seperti adanya] Aku tidak setuju jika kita sesama kawan seperjuangan saling mengidolakan. Lagipula apa itu idola? Berhala? Tidak! Kita manusia bertuhan. Kita mahluk Allah. Hanya Allah yang patut dimintai perlindungan, disembah, dipuja dan dipuji, karena Ia Maha Baik. Sedangkan kita, kau, aku dan Honda Kocak, adalah kawan seperjuangan.

Anindya Kusuma Putri Indonesia 2015
Apa yang kita perjuangkan? Kita berjuang untuk terlihat waras, setidaknya di depan umum. [Oh, berarti Lisa termasuk kameradwati, dong...] Meski bolehlah kita, kau dan aku, sedikit prihatin pada Honda Kocak yang kelihatannya semakin lelah berjuang, semakin tidak peduli dengan tampaknya jatidiri, semakin tidak ambil pusing dengan ketelanjangannya. Namun, tunggu... apa benarkah kita harus prihatin padanya? Setidaknya untukku, yang merasa menghargai tinggi ketelanjangan... apa benar aku prihatin? Apa harus malu, apa harus takut, jika kita sebenarnya... Yahudi?

Heh heh heh tentu saja kita bukan Yahudi benar-benar. Hanya saja, tidakkah ini mirip sekali dengan permainan yang dimainkan Yahudi dan Inkuisisi di Eropa Abad Pertengahan? Ini mirip sekali! Mari belajar di sinagog, tapi di bawah tanah. Harafiah, di bawah tanah. Di atas tanah, jadilah Katolik yang taat. Di atas tanah, ikutlah kebaktian di gereja. Di atas tanah, maki-makilah Yahudi... bangsamu sendiri... Maka sudah pada tempatnya jika, di atas tanah, kita sedikit menggeleng-gelengkan lemah kepala-kepala kita, “prihatin” atas apa yang diidap oleh Honda Kocak.

Togar Tanjung yang baik. Aku tahu, aku ini pengaruh yang sangat buruk bagimu. Kalau bagi orang Katolik taat lainnya, tidak perlu dikatakan lagi. Namun bahkan sebagai sesama Yahudi saja, aku ini pengaruh buruk. Heh heh heh mungkin tidak seburuk itu, karena sekarang saja aku merasa agak khawatir dengan perumpamaan yang kugunakan ini, takut menyinggung perasaan orang hahaha... atau, mungkin justru kau bisa menolongku. Bisakah kau menolongku agar agak lebih ingin untuk... menulis proposal?

Jika Honda Kocak, aku curiga, masih harus dianagram, Mas Toni Edi Suryanto, kurasa, tidak perlu lagi. Honda Kocak mungkin masih punya ibu, dan itu, Insya Allah, adalah alasan yang cukup kuat baginya untuk memperhebat Wahana Krida Ketahanan Revolusi. (Hada Hanrev) Mas Toni, kurasa, kalaupun masih punya, lebih intim dengan kucingnya ketimbang ibunya. Mungkin Mas Toni merasa aneh kalau harus berbagi nasi pembagian panti dengan ibunya, karena itu lebih pantas dilakukan bersama kucing.

Inilah yang dapat kusampaikan padamu, Gar. Honda Kocak, Mas Toni, bukan idola. Mereka kawan seperjuangan. Hanya saja, Honda Kocak masih berjuang, Mas Toni sudah... jadi pahlawan. Lhoh, pahlawan ‘kan buat diidolakan, Bang, begitu mungkin tukasmu. Hhh... aku juga tidak mengerti dengan main pahlawan-pahlawanan ini, sama tidak mengertinya aku mengapa Mayor Udara Sujono merasa dirinya seorang nasionalis bukan kominis. Sudahlah, Gar, tidak usahlah kita main pahlawan-pahlawanan. Mari kita sebut saja, Mas Toni sudah... hilang akal. (sic?!)

Wassalam Asmuni. Sarungnya Lelaqi

No comments: