Wednesday, May 06, 2015

Air Mata di Bantalku, Sakit di Hatiku


Hari ini, atau sudah beberapa hari terakhir ini, mengapa aku meragukan paham kebangsaan? Mengapa aku tidak berhasil menemukan, setidaknya pada detik ini, pembenaran mengapa perlawanan terhadap kemodalan harus dilakukan dari satu bangsa ke bangsa lainnya? Mengapa, kalau toh yang dilawan adalah kemodalan juga, harus dilakukan sendiri-sendiri oleh satu bangsa ke bangsa lainnya? Sebentar... baru saja aku teringat, sudah beberapa kali kukatakan pada banyak orang, bukan aku menentang kemodalan. Kemodalan yang seperti apa dulu...


Dan ternyata... aku tidak tahu apa-apa tentang kediktatoran proletariat. Masa aku baru paham malam ini bahwa kediktatoran proletariat, setidaknya secara teoritis, tidak dimaksudkan untuk kekal selamanya. Kediktatoran proletariat diperlukan untuk mengikis habis semua jejak kemodalan, dari gagasannya itu sendiri, sikap mental yang sudah terlanjur tertanam dalam benak orang, sampai berbagai pelembagaannya. Jika itu semua sudah lenyap dan terbentuklah masyarakat komunis, maka kediktatoran proletariat tidak diperlukan lagi. Silakan. Saya pasrah rela lega lila ditertawakan. Mengaku revolusioner tapi begitu saja baru paham sekarang.

Dan memang di situlah kekuranganku selama ini. Haruslah kuakui sejujurnya bahwa aku tidak pernah benar-benar membaca buah pena Tan Malaka yang manapun sampai baru beberapa hari ini saja. Membaca... sungguh geram aku pada kampret-kampret yang pengen segera aksi ini. Sebenarnya pengen aksi tidak mengapa juga, asalkan jangan bilang mengawang-awang-lah, omdo-lah, dan sebagainya itu. Kampret burjuis memang kalian semua! Aku bertekad membuat kalian berdisiplin ideologi dan berdisplin strategi. Baru dan hanya baru setelahnya-lah kalian boleh beraksi dan itupun harus disiplin!

Pikiran ini sebenarnya berbahaya, tapi biarlah kuabadikan di sini. Mana tahu besok-besok akan kukoreksi. Ya, mengejar gelar doktor itu memang untuk diriku sendiri. Untuk Bapak dan Ibu paling jauh. Selebihnya tidak ada gunanya. Guru besar? Meneliti? Menulis? Semua tidak ada gunanya untuk rakjat! Ya Allah, mengapa aku jadi begini? Tidakkah ini akan membuatku terseret semakin jauh darinya? Aku dosen tetap Universitas Indonesia. Aku harus doktor. Emang iya? Entahlah. Entah, aku benar-benar tidak mengerti.

Berurusan dengan kampret-kampret burjuis ini memang kurang sehat, kecuali kuimbangi benar-benar dengan upaya-upaya menjaga kesehatan. Mereka selalu menantangku, dan sudah lama aku tidak begini. Tidak mundur dari tantangan, ditambah dengan mulut besarku. Tidak banyak pilihanku kecuali berusaha membuktikan kata-kataku sendiri yang sudah kuumbar. Mau sampai mana ini semua? Sampai mana pun tidak mengapa. Menjaga kesehatan lahir batin. Cuma itu yang dapat kulakukan, sudah terlanjur sesumbar. Semoga Allah memaafkanku, mengampuniku, menolongku.

Ini gambar Tonto dan temannya di bawah ini sungguh ngeselin mukenye, meski tidak se-ngeselin kelakuan kampret burjuis yang maunya cepat-cepat saja. Lhah masih mau kaya? Memang seberapa banyak oom-oom gila yang bisa kukumpulkan? Harus cukup banyak-lah. Oom Steve Manahampy sudah menghitungnya, entah mengapa suka sekali dia menghitung. Kebutuhannya banyak! Ini semua sudah kepalang tanggung. Sudah berapa tahun kegilaan ini berlangsung? Sudah hampir dua tahun! Tidak ada lagi jalan menghindar!

Berbicara mengenai hidup yang sia-sia, pasti lebih banyak lagi hidup yang lebih sia-sia dari hidupku. Aku pernah membaca entah di mana lupa, seseorang yang tidak punya apa-apa kecuali angan-angan mengenai revolusi dan pikiran-pikirannya yang dia kira revolusioner, sampai dia dieksekusi oleh tentara reaksioner. Jangan-jangan pikiran-pikiran seperti itulah yang mencari-cari jasad baru, dan itu kebetulan jasadku. Masih banyak lagi sebenarnya jangan-jangan yang dapat kutambahkan pada daftar ini, tapi lebih baik tidak usah. Ini takdir!

Dosamu Banyak!

No comments: