Saturday, May 30, 2015

Senang di Pulau, Bermandi Sinar Matahari


Jika aku sampai berhasil menyelesaikan, jangankan satu entri, satu alinea berikutnya saja, itu sudah di luar kebiasaan. Demis Roussos sudah susah-payah menarik urat lehernya sampai sembilan lagu, dan tidak muncul juga gairahku untuk mengetuk-ngetuk papan-kunci. Lucunya, beberapa hari bahkan minggu terakhir ini, ketika aku sudah menggelar X450C bukan gairah menulis yang kudapati, melainkan justru membaca-baca entri lama. Hehehe memang itulah gunanya Kemacangondrongan ini. Aku suka masa lalu. Aku suka nostalgia.

Suatu kesukaan yang, kurasa, seringkali atau setidaknya berkali-kali, membuat orang kurang suka. Setiap perbincangan, setiap pembicaraan, pasti kuseret ke arah situ. Jangan-jangan Fred von Savigny juga seperti itu. Bukan berarti hukum itu selalu ditentukan oleh sejarah yang pernah dilalui suatu kaum, hanya saja Fred terlalu suka sejarah seperti aku. Namun mungkin aku tidak sendirian. Nyatanya, kawan-kawan TN bahkan sampai membuat satu grup Telegram tersendiri khusus untuk mengobrol sejarah. Sayang saja, aku sudah muak dengan grup-grupan ini.


[Hey, sejauh ini sudah buyar itu batas kebiasaan beberapa hari atau minggu terakhir ini. Cukup rampak aku mengetuk-ngetuk papan-tekan menjelang tengah hari ini. Mendekati kecepatan tertinggiku, bahkan] Jika hanya diobrolkan dalam sebuah grup Telegram, aku khawatir tidak menghasilkan apa-apa. Namun demikian, bocah-bocah ini akan menjadi sekutu dekat dalam menyusun materi kaderisasi. Kelak jika sudah diketok maka dapat dimulai rekrutmen terhadap bocah-bocah ini. Tinggal lagi melihat, mereka kuat menulis, atau sekadar cepat jarinya memencet-mencet layar sentuh.

Lantas, seperti biasa, jika terlalu mengempos maka tak lama kemudian mengempis. Sejujurnya aku sedang malas, atau rasa malas itu kembali menghantui. Pekerjaan di Djeproet terbengkalai. Ah, sekaranglah waktunya aku merekam cerita Cantik tentang Seno Gumira Ajidarma. Terus terang, aku agak kagum pada bapak satu ini. Cerita bahwa dia sangat produktif, dalam sehari setidaknya menghasilkan satu tulisan, mengonfirmasi kekagumanku. Memang tidak mungkin ada orang yang pantas dikagumi jika ia tidak bekerja lebih keras dari kebanyakan orang.

Sedangkan tidak kurang dari Cantik sendiri mengatakan aku Pemalas. Bahkan Istriku sendiri, yang kusangka merupakan Belahan Jiwaku, tidak mengerti aku. Jika sudah begini, biarlah kuputuskan, memang tidak mungkin ada orang yang akan memahamiku. Biarlah kulakukan sesukaku saja, tapi terus kulakukan dan kulakukan dan kulakukan, karena tidak ada orang pantas dikagumi jika ia tidak bekerja lebih keras dari kebanyakan orang. Terlebih lagi, aku tidak butuh kekaguman, karena hanya aku yang berhak mengagumi diriku sendiri.

Di atas ini, jelas kesombongan, kepongahan. Begitulah aku terlahir. Aku hanya bisa berusaha dan berharap agar bawaan lahir ini tidak memancar sampai terpindai orang lain. Biar aku saja yang tahu dan orang-orang yang kebetulan mampir ke sini. Lagipula apa yang dapat disombongkan. Tidak ada. Beginilah mungkin cara Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menolongku. Jika saja aku diberi satu atau beberapa hal yang dapat kusombongkan, entah berapa banyak lagi dosa dan dosa yang akan kutumpuk.

Begitulah maka pagi ini dari statusnya Pak Topo aku mengetahui bahwa Mbak Melda sudah jadi guru besar. Proficiat, Mbak. Aku tidak heran kalau Mbak Melda yang menjadi guru besar tetap FHUI berikutnya setelah Pak Dekan Topo. Lagipula, ketimbang Mbak Melda, aku lebih mirip adiknya Milson Kamil. Kami berdua sama-sama pemalas. Makanya aku sedih ketika Mas Mils tidak punya lagi dorongan untuk maju. Entah ke mana yang penting maju. Kita mana tahu, Mas.

No comments: