Sunday, May 17, 2015

Bapak Indian dan Anak-Cucunya


Akankah kuhasilkan satu entri khusus mengenai topik ini? Mengenai tiga kamerad, kawan seperjuangan menempuh... apa? Apa yang ditempuh? Nasib? Takdir? Ada menyelinap sedikit rasa untuk mengabaikan saja suasana sentimentil yang sudah menjurus pada melankoli ini. Namun begitu, kuat juga mendentam perasaan untuk menghormati tiga kamerad ini, karena bersamaku memang cuma ada kami berempat. Berempat menanggung apa? Nasib? Takdir? Bisa keduanya, yang mana saja tidak menjadi masalah. Nasib tidak terdengar lebih pesimis. Takdir tidak terdengar lebih heroik.



Eyang Padmodidjojo pernah melaksanakan tapa pendem empat puluh hari empat puluh malam. Itu menunjukkan tekad yang kuat. Demikian juga pohon jambu sudah banyak berbuah, meski tadi pagi masih banyak tawon menghisap madu dari kembang-kembangnya. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua sebenarnya adalah sesering mungkin. Sekerap mungkin. Insya Allah. Apapun itu tidak akan lebih penting dari yang satu ini. Kasih sayang yang diungkapkan, dinyatakan. Meski tentu saja harus seiring sejalan, karena hasil perjuangan juga harus bisa dibawa pulang.

Lalu, Ulang Tahun Kolinlamil. Sungguh, ini lebih lama lagi tidak pernah bertukar kata. Bisa berbulan-bulan bahkan lebih. Benarkah aku pernah benar-benar membubungkan doa, ataukah cukup doa sekadar grenjetnya hati? Bahkan sebelum aku menulis entri ini, aku diantarkan pada entri lain yang temanya tepat seperti apa yang sedang kugarap sekarang ini. Apakah itu doa yang terucap, atau sekadar bergerinjulnya hati, itu semua ada. Lebih dari apapun, apa yang telah kita lalui bersama cukuplah menjadi ikatan yang tidak akan putus selamanya.

Lalu, Parker Crane naik Eskalator. Aku melihat hidupmu berat. Aku melihat hidupmu mungkin jauh lebih berat daripada yang pernah kualami. Aku merasa hidupmu pasti lebih berat dariku. Kata-kata lembut, hanya itu yang dapat kuberikan. Aku pun tidak berdaya. Sudah banyak kata kuhamburkan semata untuk membuat hidup lebih baik, namun semua itu tinggal kata-kata yang terhambur. Apakah aku pernah benar-benar berdoa untukmu, atau cukup keprihatinanku menjadi perisai dan jubahmu? Perisai yang meneduhi di kala terik, jubah yang menyelimuti di kala dingin?

Lalu aku sendiri. Menolong diriku saja aku tidak bisa. Apa yang dapat kulakukan untuk kalian? Memang bukan aku yang dapat, mampu melakukan apa-apa untuk kalian. Memang doa itulah yang harus kububungkan, entah sambil menengadahkan tangan, entah sekadar keprihatinan di hati. Ya Allah, hamba mohon jagalah mereka bertiga selalu dalam lindungan dan pertolonganMu. Mereka bertiga adalah kawan-kawan seperjuangan hamba satu nasib satu takdir. Ampuni hamba yang bermulut besar ini, Ya Allah, Engkau pasti mafhum akan keprihatinan hamba pada mereka.

Akhirnya, kami berempat tidak ada istimewanya dari sekitar tujuh milyar anak Adam di muka bumi ini, laki-laki dan perempuan. Hamba memang banyak mulut mengenai nasib dan takdir, tapi mereka adalah tiga laki-laki yang hamba kasihi, istimewa bagi hamba. Ampuni hamba karena mengistimewakan mereka dari lainnya, Ya Allah. Mungkin karena kami masih hidup, Ya Allah, sedangkan dunia ini, Ya Allah, betapa mengerikannya jika bukan karena Kasih-sayangMu. Mudahkanlah kami bertiga untuk selalu mengingatMu, bersyukur padaMu, memperbaiki mutu penghambaan padaMu.

Akhirnya, jadi juga entri mengenai topik yang memang sangat pantas ditulis ini, meski memang terasa sentimentil dan melankolis. Memang ini sangat sentimentil dan sangat melankolis. Memang ini adalah mengenai hamba, yang lemah dan lemah saja sifatnya, bahkan sejatinya tidak ada. Akan halnya mereka ada bagiku, itu semata karena nasib dan takdir. Nasib dan takdir ini jualah, ini sajalah yang mengikat kami berempat. Entah juga mengapa harus berempat, namun begitu itulah rasaku.

No comments: