Thursday, September 24, 2009

Beginikah Caraku Mengenangmu?


Pengaturan full bass and treble-nya Winamp baru terasa sedap jika menggunakan Altec Lansing-nya Parul yang telah integral dengan Lich King entah bagaimana caranya. Gericik dan gerincing simbal dalam After the Love is Gone terdengar begitu jelas. Aku memang belum jelas juga meski September akan segera berlalu. Pun, aku malu untuk mengakuinya bahkan di sini. Memang tidak boleh. Ada tempatnya untuk mengaku. Bukan di sini. Masih di ketinggian lantai 4 Gedung D FHUI Depok, memandang ke arah selatan sambil menulisi Kemacangondrongan. Asli ga ada gunanya! Gunanya... untuk menumpahkan segala racun yang menyumbat saluran-saluran benak.

Padahal ada cara lain yang sudah pasti manjur. Padahal sudah jelas meracau di sini tidak menyelesaikan apa-apa. Pun, ingin kutumpahkan juga. Sungguh aku takut berkuasa, apalagi untukku yang ekstrim ini, karena aku sangat suka mempelajari teknik-teknik genosida. Sungguh suatu kata yang menyebalkan. Hadi si Dosen Hukum dan HAM menyayangkan kehadiranku yang sumir dalam kuliah-kuliahnya, sehingga mengakibatkan nilai B bagiku untuk matakuliah itu. Justru itu, tukasku. Apa kata dunia jika si Pelanggar HAM ini sampai dapat A untuk matakuliah Hukum dan HAM. Aku bukan pelanggar hukum. Aku pelanggar HAM.

Kenyataannya, aku dipaksa oleh nasib untuk menyayangi sasaran-sasaran genosidaku. Ah, kenapa juga harus ada kata khusus untuk ini? Mengapa tidak sekadar pembasmian saja, seperti membasmi hama? Kata "pemurnian," yang lebih menekankan pada tujuan atau akibat dari pembasmian itu, mungkin lebih sesuai digunakan. Keparat-keparat itu menjadikan genosida suatu kategori besar yang menampung segala sesuatunya. Aku sudah tahu pasti mereka akan menyepelekan alasanku untuk melakukan pembasmian. Mereka akan mengatakan aku mencita-citakan genosida dengan dalih agama. Mereka mungkin harus dijadikan sasaran juga, walau aku tidak sepenuhnya sependapat dengan Pol Pot.

Mungkin caranya adalah mempersilakan mereka minggat dalam tenggat tertentu atau menjadi "pahlawan-pahlawan agraria". Tentu saja, aku tidak mau di "Mandala-mandala Agraria" nanti kondisinya buruk. Semua harus tersedia dalam kecukupan yang sewajarnya bagi para pahlawan tersebut. Bagaimana mereka dapat berjuang jika tidak dicukupi kebutuhannya, disediakan kelengkapannya. Kalau sampai ada yang berniat, apalagi sampai berbuat, buruk pada para pahlawan agraria beserta keluarganya, mungkin aku sendiri akan dengan senang hati menembuskan timah panas tepat di antara kedua matanya... Bila waktu mengijinkan, mungkin harus kubeli dan kubaca buku "Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi." Mungkin, buku ini mampu menyembuhkanku dari hobi mempelajari teknik-teknik genosida.

Nanti dulu, bagaimana dengan sasaran yang satu ini? Apa yang dapat dilakukan terhadap mereka? Sekadar menyilakan mereka menjadi pahlawan agraria boleh jadi tidak cukup untuk mengobati penyakit-penyakit mereka. Sesungguhnyalah hanya kasih sayang dalam dosis sangat tinggi yang dapat menyembuhkan mereka. Siapa yang dapat memberikannya? Bagaimana melatih sebuah korps pemberi-kasih-sayang dosis-sangat-tinggi? Beberapa divisi mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan tugas ini. Kalaupun mungkin, bagaimana cara membiayainya? Apakah fasilitas ini harus dipadukan dalam Mandala-mandala Agraria?

Akan menjadi seberapa mahal mandala-mandala itu jika demikian? Mungkin sama saja dengan para pemikir bebas lainnya, kepada mereka diberi tenggat untuk pergi ke lain tempat yang dapat mengakomodasi pikiran-pikiran bebas mereka. Jika dalam tenggat yang ditentukan mereka masih ditemukan di dalam negeri, maka Mandala-mandala Agraria itulah tempat mereka, tentu saja, yang sudah dilengkapi dengan fasilitas khusus untuk menangani penyakit-penyakit yang mereka derita. Sedikit motivasi seperti timah panas di antara dua mata mungkin akan membuat mereka lebih bersemangat untuk menyembuhkan diri sendiri.

Akhirul kalam, sesungguhnyalah terserah Allah mau diapakan mereka semua. Aku hanya tahu berbagai gimmicks seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah pasti gagalnya di tanah ini. Sulapan seperti itu hanya akan mengundang tepuk tangan dan decak kagum mereka yang cukup banyak waktu untuk itu. Entah berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk membangun institusi yang sudah pasti gagal bahkan semenjak disainnya. Namun, jika segala sesuatunya terus berjalan seperti ini tanpa ada perubahan penting ke arah yang lebih berarti, mungkin itu pertanda Allah telah mencabut kembali kekhalifahan manusia di atas bumi-Nya.

Mungkin, bumi sendiri nanti yang diijinkan Allah untuk mengurus dirinya sendiri, membersihkan punggungnya dari mahluk-mahluk kecil yang hiruk-pikuk dan membenamkan mereka ke dalam perutnya. Semua ini menjadikannya jelas betapa aku tidak cakap untuk melakukan pekerjaan apapun. Tidak ada kantor yang mau mempekerjakan seorang fatalis yang tidak punya cita-cita apalagi ambisi bahkan untuk dirinya sendiri. Tidak ada perusahaan yang mau menggaji seseorang yang menghabiskan banyak waktunya untuk mengolah semua paradoks yang dicerapnya dalam suatu konspirasi eskatologis (Wow, tidakkah terdengar ilmiah kalimatku? Tidak!).

Occupation: Part-time Unemployed

No comments: