Saturday, September 12, 2009

Fatalissimo Fantastico!


Jika pun tidak, aku tidak tahu lagi. Jika pun tidak, ya tidak apa-apa juga. Sampai kapan aku akan terombang-ambing di tengah lautan fatalisme ini, aku, sebagai seorang fatalis, tidak tahu dan tidak peduli. Maya bertanya, kalau sudah pi-eij-di terus apa. Tidak pakai lama, kutukas, tidak tahu. Siapa juga yang tahu? Aransemen-aransemen Paul Mauriat mewarnai hari-hari dalam hidupku dari begitu lama sampai aku tak ingat lagi. Malam ini pun begitu walau ia menggunakan instrumen-instrumen baru. Aransemen-aransemen yang sama yang telah memberikan kenyamanan di hati Ibu. Apa yang membuat nyaman Bapak? Kenangan masa kecilnya di Lodoyo?

Sungguh terasa di sini tiadanya daya dan sepelenya upaya. Hari ini, dan sudah beberapa hari sebelumnya, kujalani lagi hidup seorang fatalis di rimba belantara Jakarta. Waktu sahur kemarin kucingcongi Adi, hidup di Jakarta itu seperti layaknya ayam. Ketika sinar matahari menjelang maka turunlah dari dahan tempat bertengger di malam hari, yang tentu saja memberikan kenyamanan minimal. Pun, tetap saja Allah memberi istirahat melalui dahan itu. Turunlah ke tanah dan mulai mematuk-matuk. Tak pernah tahu apa yang akan didapat. Sebutir nasi bekas seseorang yang penuh rasa syukur atau berbulir-bulir beras dari seseorang yang penuh rasa iba. Tak pernah tahu. Pun, nasi dan beras itulah pengisi tembolok.


Je pense a toi… tidak sepenuhnya pula aku memikirkanmu. Jika aku benar memikirkanmu, kamu bukan kamu dan aku bukan aku. Harus kuakui, kau adalah bagian dari impian itu, yang tiada seberapa sulit kuhapus dari kenangan. Bukan impian indah maupun buruk, hanya mimpi saja. Mimpi yang senantiasa harus dipertentangkan dengan kenyataan. Tentu saja, ada rasa bersalah menyelinap sekali dua. Sudah barang tentu, kutemukan diriku menyapa sedikit angin demi kata sepatah dua. Tidak. Sejujurnya, aku lebih suka begini. Musim panas pun telah berlalu dan aku tidak mau tahu. Waktuku sedikit untuk mengejar entah apa. Hidupku tidak bahagia? Takkan pernah kulihat dalam hidupku negeri ini bebas dari jembel mudlarat?

Kalaupun “ya” memang kenapa? Akankah kutemukan kedamaian sebagai pengganti kebahagiaan? Apakah bahagia bagiku? Melihat orang-orang yang kusayangi bahagia? Siapa yang kusayangi? Bapak? Ibu? Adik-adikku? Semua orang? Siapapun? Apapun? Nero? Beki? Bambang? Sam? Siapa bilang aku tidak bahagia? Tahukah kau betapa membuncah perasaanku demi mendengar “Michele”-nya Paul Mauriat? Dapatkah kau merasakannya? Jika kau pernah tahu rasanya mencumbu seorang istri yang shalihah lagi rupawan, itulah yang kurasakan kini! Tahukah betapa melayang rasa hatiku tatkala melihat induk kucing menyusui anak-anaknya di trotoar yang ramai oleh pejalan kaki? Jika kau pernah tahu rasanya melihat istrimu menyusui anakmu, itulah yang kurasakan kini!

Hari ini Mbak Desi memberiku buklet NFP yang kutinggalkan di Pisa Café Setiabudi Building, setelah dijadikan tatakan poci teh oleh Maya. Aku belum dapat memberitahunya nomor rekeningku karena diplomaku belum kuterima. Setelah menghabiskan entah berapa ratus ribu untuk taksi, dan sekitar dua juta lebih dalam waktu kurang dari dua minggu, aku infantri dari Menara Jamsostek ke Menara Karya tempat Rendy berkantor. Rendy memberikan harapan untuk melanjutkan proyek impian hukum dan sumberdaya alam khususon yang berkaitan dengan pertambangan karena ini Adaro.

Berani itu Ajaib, kata Mario Teguh. Yeah, salam super aja deh. Pokoknya, aku harus maju terus dan terus berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya karena, kata Mario Teguh, berani itu ajaib. Entah apa maksudnya. Sejurus kemudian, episode terbaru dari Setiabudi Building di Goku Shabu yang makanannya ora enak blas tur luarang puol geser ke Pisa Café. Gelato Menta-nya enak. Beberapa ratus ribu lagi. Yah, kalau terlalu dihayati episode ini, kesedihanlah yang kudapat. Jadi, tidak perlu terlalu dihayati. Ramadhan tinggal beberapa hari lagi dan belum sekali pun aku melakukan penghambaan. Mari kita lihat minggu depan. Salam super dahsyat!

No comments: