Tuesday, September 22, 2009

Sudah Tidak Panas di Maastricht


Mendekati Maghrib terakhir pada Ramadhan 1430H kemarin, seorang pemulung masih memanggul karungnya. Matanya masih awas memindai setiap sudut jalan di Kompleks Yado, Radio Dalam, kalau-kalau ada gelas atau botol plastik, kardus dan sejenisnya yang masih bernilai uang. Aku baru saja dari ATM BCA, mampir sebentar di penjual pulsa sebelum menuju ke Masjid al-Falah Kompleks TNI-AL guna membayar zakat fitrah, kemudian ke Grand Lucky membeli pepaya dan belimbing serta dua bungkus Nutrijell. Dalam dompetku ada dua lembar uang seratus ribuan. Ketika itu aku berpikir, seandainya ada limapuluh ribuan, akan kuberikan pada pemulung itu. Hatiku berat untuk memberinya seratus ribu Rupiah, karena keadaanku juga sedang tiada berapa lapang.

Akhirnya ia berlalu ke arah Jalan Yado III sementara aku belok kanan. Satu hal yang terpikir olehku pada saat itu adalah perbedaan standar. Aku tidak mungkin menggunakan ukuran-ukurannya sebagai seorang pemulung, seperti halnya ia tidak mungkin mengukur segala sesuatu dari kacamata seorang M.Sc. lulusan Maastricht, Belanda. Perbedaan keberadaan sosial kami menentukan kesadaran sosial kami masing-masing. Segera saja kusadari kerangka berpikir itu musykil bagiku saat ini. Setidaknya, aku merasa terganggu dengan pemandangan itu. Dengan ringannya ratusan ribu Rupiah kukeluarkan dari dompetku, entah seberapa berartinya uang sebanyak itu baginya.


Malbergsingel di Musim Dingin

KH. Zainuddin Mz. berbicara mengenai cinta. Menurutnya, dalam mencinta setidaknya ada dua gejalanya. Pertama, jika kita mencintai sesuatu, maka kita akan sering menyebut-nyebutnya. Kedua, jika kita mencintai sesuatu, maka kita akan bersedia mengorbankan apa-apa yang kita sukai demi menyenangkannya. Apakah dua gejala ini dapat diterapkan pada kasus cinta kepada Allah? Aku, Insya Allah, yakin tidak ada yang mampu mencinta seperti Allah. Sederhananya, jika kita saja merasa kewalahan dengan cinta orangtua pada kita, dan merasa tidak berdaya dan tidak akan mampu untuk membalasnya secara sepadan, ingatlah bahwa cinta yang demikian itu Allah yang menciptakan.

Cinta antara orangtua dan anak kiranya dapat menjadi acuan jika kita ingin membayangkan bagaimana adanya cinta antara Sang Khaliq dengan mahluk-Nya. Mardhatillah, mencari keridhaan-Nya, kiranya dapat dibayangkan sebagai upaya seorang anak untuk melegakan hati orangtuanya, melakukan segala sesuatu yang menyenangkan hati mereka kendati mengurangi kesenangan-kesenangannya sendiri. Seperti itu kiranya, Insya Allah, penghambaan. Itulah yang kucari. Aku ingin Allah memandangku dengan kelegaan hati, perasaan puas, seperti ketika orangtuaku merasa lega dan puas melihatku.

Kudengar, dalam Injil banyak ditemukan perumpamaan mahluk sebagai "anak" sedang Khaliq sebagai "orangtua." Seperti itulah kurang dan lebihnya. Gusti, hamba berlindung kepada-Mu dari angan-angan disayangi oleh-Mu, sedang hamba masih berlumur berbagai maksiat dan kedurhakaan. Hamba berlindung kepada-Mu dari yang seperti itu. Jika hamba harus merasa disayang oleh-Mu, hiasilah hamba dengan amal tha'ah dan shalih, dan tanamkanlah dalam keyakinan hamba bahwa itu semua adalah karunia-Mu semata. Tiada daya upaya kecuali dengan-Mu, Maha Tinggi, Maha Mulia.

Andai terus begini suasana hatiku,
maka bagai musim gugur sepanjang tahun.
Musim gugur yang menghapus penatnya musim panas.

Andai terus begini suasana hatiku,
maka bagai perjalanan menuju shangrila di ketinggian sana.
Ketinggian yang mengatasi kerendahan penuh sesak dan nestapa.

Nyatanya tidak terus begitu.
Indahnya perhiasan dunia terus menyandera indriaku.

Nyatanya tidak terus begitu.
Jasadku terus meronta demi gelegak kedirianku.

Ya, hal itu terus memberati hatiku. Sungguh tidak sabar rasanya untuk segera berbuat sesuatu atasnya, padahal hanya sabar yang dapat kulakukan kini. Bukan sekadar angan-angan semu yang terus kuulang-ulang, melainkan, Insya Allah, sugesti bagi diriku sendiri terutama untuk terus bergerak ke arah itu, meski kini aku tidak tahu harus melangkah ke mana dan bagaimana caranya. Masa itu akan datang padaku, menjelang seperti terbitnya matahari di ufuk timur setiap hari tanpa ada campur-tanganku sama sekali.

Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah menunggu datangnya fajar, sambil mengisi malam dengan kegiatan-kegiatan yang berguna. Tidur, misalnya. Jika tidur menyegarkan jasad, meningkatkan kualitas penghambaan, Insya Allah, menyegarkan jiwa. Betapa jiwa tidak akan penat jika terus-menerus dipaksa menyalahi fitrahnya. Pun demikian, demikianlah fitrahnya jiwa, yaitu menyalahi fitrahnya. Itulah makna dari perumpamaan titian rambut dibelah tujuh, siapa juga yang tidak akan jatuh dari atasnya? Pun demikian, al-Mutakabbir sudah mempersiapkan aturan main yang bila kita mematuhinya menjamin keselamatan kita di atas titian itu.

Maha Suci Ia yang mengajarkan kepada segenap mahluk-Nya yang lemah, melalui perantaraan kekasih-Nya, shalawat dan salam semoga senantiasa atasnya dan keluarganya, cara memuji yang patut bagi-Nya. Segala puji pada kenyataannya memang hanya bagi-Nya karena tiada sesembahan kecuali-Nya, Maha Besar-lah Ia. Masa itu, Insya Allah, akan datang padaku. Aku hanya harus mengerjakan apa yang harus kukerjakan sebagai seorang sahaya. Sungguh, tiada daya upaya kecuali dengan-Mu, Maha Tinggi, Maha Mulia. Ampunilah hamba.

Tonight, evening clouds will give way to clearing overnight. Low 9C. Winds ESE at 5 to 10 mph. Tomorrow, areas of fog early, becoming mostly sunny in the afternoon. High 21C. Winds SW at 10 to 15 mph.

No comments: