Friday, July 29, 2022

Ini Dia Satu yang Kaucinta Meminta Sehari Lagi


Ketika menulis entri, aku menulis mengenai segala sesuatu yang dekat denganku, baik di dalam maupun persekitaranku. Aku, yang jelas, saat ini tidak boleh bercerita mengenai layar yang terasa aduhai lapang, demikian pula papan-kunci yang membuat tanganku sulit terpancang pada tumitnya, karena ini adalah sebuah retroaksi. Aku bahkan tidak tahu lagi apa patokanku kini. Akan kucoba saja menulis sebanyak enam baris tiap-tiap kali dan melihat tampilannya. Melodi yang tidak terantai ini entah mengapa mengingatkanku pada kamar cilik dan dressoir yang tadinya ada pemutar piringan hitam di atasnya.

Biarlah aku mengetik saban-saban enam baris begini tanpa memperhatikan rata kanan-kiri. Mungkin lama-lama aku akan lupa bahwa di pojokan situ ada tombol pratinjau, sedangkan kamar Merel yang selalu bersih dan rapi begitu saja hadir dalam ciptaku. Seperti ketika ia tiba-tiba muncul di belakangku, di kamar Baron di pojokan itu. Siapapun, apapun tahu jika aku lembut hati. Aku terlalu baik pada semua orang sampai-sampai beberapa memanfaatkan aku, hanya kepadaNya aku dapat berlindung dari yang seperti itu. Seperti halnya Ialah yang mengaruniakan padaku kelembutan hati. Kelebihan atau kekurangan sudah tidak penting.

Aku sudah mulai mengulang-ulang ceritaku seperti jompo pikun, sampai-sampai Togar memotong ceritaku. Seperti halnya khatib Jumat di Masjid Ukhuwah Islamiyyah hari ini bercerita mengenai macam-macam perhitungan tahun. Adakah Merel menjadi nelayan karena aku sok-sokan cerita mengenai nelayan. Adakah aku harus menjepitkan fonkepala Macson pada tulang-tulang pipiku karena pura-pura mau mendengarkan dan menjawab adzan. Adakah ketak-ketuk papan-kunci ini terdengar keras, tidak seperti Asus VivoBook apalagi Samsung Galaxy Tab A. Haruskah kuberi nama mereka atau kukode saja.

Ini aku di sini sudah diklaim Adikku dan istrinya, semoga Allah mengaruniakan ketenangan, cinta, dan kasih-sayang pada rumah-tangga mereka berdua. Kukira aku sudah melupakanmu membawaku begitu saja ke dinginnya udara malam di Magelang, di pelataran berkonblok antara graha. Apakah ketika itu aku berPDH, berjaket training biru. Aku selalu lebih suka jaket ini, itulah maka aku tidak pernah punya jaket kantin buatan Bu Karim. Disainnya pun menurutku kurang oye. Dari mana aku malam-malam begitu di pelataran antar graha. Tak ingin aku mengulangi, aku masih tolol kala itu. Memang jauh lebih sehat dari sekarang, tapi tolol.

Apa sekarang sudah tidak tolol. Masih. Aku hanya merasakan kembali dinginnya udara malam Magelang. Rasanya seperti ingin dipeluk, apakah itu dinginnya udara malam Maastricht atau Amsterdam. Di mana pun yang dingin itu harus dihangatkan dengan pelukan, meski baju hangat pun bisa melakukannya. Daya cinta ini juga entah mengapa mengingatkan pada udara malam yang dingin di Tangerang. Berarti udara dingin di mana pun ada, bahkan di tepi Cikumpa sini. Udara dingin yang nyaman, yang tidak menyebabkan masuk angin. Bagaimana dengan Jl. H. Sajim di waktu malam, sekarang waktunya Adjie merasakan udara malam dingin. 

Tiada betul yang patut disedihkan. Justru banyak betul yang harus disyukuri dan dirayakan dengan senyum dan tawa. Meski mungkin wajahku terlihat ditekuk begini, sebenarnya aku sedang merayakan suasana hatiku selalu. Meski abu dupa berceceran luput dari mangkuk kayunya yang berisi pasir, yang kali terakhir diayak Mang Aisyah. Meski Mas Dhikdhik dan Tante Lien sudah tidak setiap hari mewarnai, semua kenangan itu mengisi relung-relung hati dengan kehangatan. Sehangat kuah sambel goreng tauco, entah encer entah nyemek, seperti itulah suasana hatiku yang tidak pernah merasa cukup akan dirimu, kekasihku.

Aku bahkan tidak punya mimpi. Aku sekadar menjalani hari-hari dalam hidup bahagiaku. Tak satu pun kubiarkan merusak kebahagianku, karena memang tidak mungkin dirusak jika tidak ada. Kesedihan itu adalah kebahagiaan. Kau hanya perlu memberinya nama. Perasaan seperti selalu ingin yang segar-segar ini bukan sesuatu yang baru, meski aku lupa di mana dan bagaimana aku mandi tiap kali merasa gerah dan lengket. Kaos oblong putih pun yang kupakai bermain Friendster ketika itu, berarti goblog ini sudah ada sejak jaman Friendster! Suatu pencerahan, meski tidak banyak berarti karena aku benar-benar tidak mau mundur lagi.

Katamu Kau Mencintaiku Seperti Adaku

No comments: