Thursday, January 13, 2022

Patil Patah-patah Tetiba 'Nunda


Ini judul yang epik, meski penggambarannya tidak terlalu. Aku bisa gila lama-lama kalau begini terus (bukannya sudah). Banyak yang harus kubeli. Mobil misalnya, jika atas-meja semua-jadi-satu belum perlu. Mau dekat-dekat Mbak Puas belum tunai janji. Beginilah tiba-tiba di malam Jumat yang mulia ini isi kepalaku. Bukannya membaca sepuluh ayat pertama dan terakhir Al-Kahfi malah begini. Bukannya Yasinan Fadhilah malah mengitiki yang tidak-tidak. Sudah tahu aku tidak keren (penggeli), terus saja mengitiki. Jangan lupa, ini Asus Vivobook. Enam baris saja.

Asal tahu saja, aku selalu suka keindahan. Segala yang halus, bagus, aku suka. Maka jangan kauharap merusaknya, Ketonggeng. Tidak mungkin ia kujadikan antagonis, karena Ketonggeng adalah jagoan almarhum Bapak untuk membunuh jangkrik genggong jagoan Paklik Gupuh. Uah, lucu sekali suasana malam Jumat yang sudah tidak muda ini. Rasanya justru seperti Minggu malam yang ada Spenser untuk disewanya. Tentu saja, semua hari sekarang terasa seperti hari libur, sudah dua tahun terakhir ini. Suara tanpa tremolo, tanpa vibrato inilah yang ditiru, antara lain, oleh Rafika Duri dan Iin Parlina.

Ketika aku mengamangkan tongkatku, sedang mantra ridikulus sudah ada di ujung lidahku, Juwita dan Si Sirik saling memantrai abrakadabra dan alakazam. Ini tidak pernah terjadi di dunia nyata, karena alakazam biasanya digunakan Si Sirik untuk menjahili orang tak berdosa, dan abrakadabra digunakan Juwita untuk memperbaikinya. Betapa indahnya dari Setia Kawan di pinggir kali bau Bendungan Jago. Sudah, tidak perlu diingat-ingat lagi. Di depan sana ada yang tak terhingga kali lipat cantiknya. Kau hanya harus menunaikan semua janjimu tanpa kecuali.

Nah, kalau aku berdansa tango dengan Rempah Bayi begini, siapa yang bisa melarang. Aduhai, Cantik! Bukan daging yang merasakannya, melainkan hati. Hatimu yang dibuai-buai perasaan bergairah namun nyaman. Perasaan cantik. Ya, seorang lelaki bisa saja merasa cantik, meski tentu saja tidak seperti perempuan setelah memoles dan memulas wajahnya. Lelaki merasa cantik jika hatinya dibuai gairah yang menyamankan, seperti belaian. Hampir seperti belaian ibu yang bahkan kau tidak pernah ingat, seperti itulah rasanya ketika lelaki merasa cantik.

Jam Casio Databank-ku menunjukkan lewat lima dari pukul sepuluh malam, ketika semua sudah berangkat tidur seharusnya. Aku tidak terlalu suka mengingat-ingat ketika justru pada saat seperti inilah aku mulai merokok. Jika tidak ada rokok, tidak ada uang pula, maka mungkin aku akan mengobok-obok saku baju dan celana almarhum Bapak. Terkadang terkumpul hanya cukup pembeli beberapa batang, terkadang satu bungkus sekali. Mungkin kuseduh juga kopi agak secangkir atau semug besar, tergantung suasana hati, lantas bisa jadi Jalur Bintang Generasi Berikut.

Uah, akhirnya ketemu juga yang baru, yakni Aruanda, semacam Nirwananya orang-orang Brazil keturunan Afrika. Iya lah, masa hidupku membosankan saja begini. Sekalinya aksi tolol-tololan semacam APC atau IC, selebihnya khayal belaka. Entah bagaimana, sesungguhnya aku tidak berani mengaminkan doa almarhum Bapak untukku. Buat apa segala kepahlawanan itu, aku terlalu malas untuk menjadi pahlawan. Namun Bapak menginginkanku begitu, menjadi pahlawan. Tidak tepat seperti pahlawan, tetapi menegakkan kebenaran dan keadilan. Semacam itu saja.

Malam ini, tidak seperti dua malam kemarin, udara kembali panas. Perut kanan bawahku terasa kembung tidak nyaman. Sumbatan ini, Insya Allah, akan segera jebol, membuka jalan bagi air deras. Tidak perlu air bah, cukup deras saja mengalir sampai muara di sebuah teluk yang indah permai. Melewati hutan-hutan bakau yang makmur lagi sentosa. Aku tidak mau berkhayal seperti Sindhunata mengenai buaya yang berenang-renang bersama anak monyet, sedang macan main petak umpet dengan kerbau. Biasa saja, sampai selesai dengan sebaik-baiknya, selamat dan berkah.

Aamiin Yaa Robbal'aalamiin

No comments: