Saturday, January 29, 2022

'Kuakui, Ini Memang Entri Tentang Legiman


Mengitiki tiap hari, harus diakui, memang lebay. Nyatanya, berapa kali saja aku harus beretroaksi untuk melakukannya. Namun, menjaga agar entri tidak lebih dari bilangan tertentu dalam sebulannya, harus diakui, memang artifisial, tidak mengalir. Berkesenian itu seharusnya seperti deburan ombak. Kau tidak akan pernah tahu sebesar apa deburannya pada suatu saat tertentu. Bisa jadi ia bahkan tidak menyentuh ujung jari-jari kakimu, atau, dalam kasus Pendeta-wanita Uxia, tentakel-tentakelnya. Lain waktu, sangat mungkin ia mengebur sekuatnya sampai kau kuyup.

Segelas plastik merah teh hijau bersimbah yuzu menjadi penggambaran bagi keluh-kesah seorang kekasih yang lelah menggapai hati kekasihnya, dari sekitar empat puluh tahunan yang lalu. Namun hatiku dibebani gerah-panasnya hari, sehingga tak beranjak ia dari suatu petang selepas ashar di tepian Cikumpa. Awful di belakangku mainan henfon, sedang manusia terus saja menderita kerugian, melainkan yang beriman dan beramal sholeh. Baik Yohanes Gunadi maupun Tarsisius Legiman sudah menyatu dengan tanah di sana-sini jasadnya, sedang perutku membuncit.

Ini bisa jadi siang yang lebih tertahankan dari sekira lima belas tahun yang lalu di sebuah Metro Mini S.72, ketika begitu saja Bu Sudjiah menyapa: "Bono, ya." Seandainya pun Bu Sudjiah ini ibunya Vicky atau Ramona sekalipun tidak akan banyak mengubah apapun. Agak berbeda halnya dengan Agnes, yang dari jendelanya di bilangan Cipinang Jaya melambai padaku. Seorang pengamen bersumpah, sebagaimana Tuhannya, demi masa. Cukup bagus, seingatku, suaranya. Mungkin tidak sampai habis perjalanan S.72 itu, mungkin sampai PIM yang baru satu, belum dua.

Dagon, sementara itu, bukan film horor, melainkan sadis. Masa ada orang dikuliti kepalanya dari dada. Selebihnya, ia adalah film berkarakter, berkwalitet, sebagaimana disukai Wong Edan. Entah apa yang habis kulakukan, begitu saja sekitar jam babi aku melangkah ke Sarang Beto. Jika aku sampai meminta seorang gadis untuk membuka kacamata hitamnya, itu pasti di bilangan Graha Bintaro. Bagaimana caranya kesehatanku masih jauh lebih baik saat itu, dan begitu memburuk kini. Aku sering mengamati derum tambur senar artifisial pada peralihan bait. 

Ini lain lagi, meski sama-sama petang. Akung sudah kondur, kurasa, seperti halnya Bapak sekarang. Petang seperti ini terkadang membuatku heran. Berbaring-baring pada ubin kuning sejuk, mengapa aku tidak bermain keluar. Apakah ini sebelum jam empat. Begitu lama jam empat petang sangat berarti bagiku, sebagaimana setengah enam, setelah Berita Nusantara. Ya, aku berasal dari generasi itu, seperti jutaan lainnya, seperti Fina Pitono yang sekarang seorang perekayasa, yakni, semacam peneliti BRIN. Abi Nisaka, sementara itu, bekerja untuk Kalbe Farma, Suryo polisi.

'Tuh 'kan, dari Maret 1996 aku sudah saling setia. Mungkin sekitar waktu-waktu ini juga aku menghadapi kenyataan hidup. Kurasa itu memang pengalaman pertamaku. Namun aku lebih suka mengenang kemudaanku ketika itu, berganti-ganti merek rokok sesuka hati. Pada saat ini mungkin aku sudah tidak terlalu Bentoel biru, meski belum juga Minak Djinggo Nojorono. Kemungkinan besar aku masih A King, apakah itu merah atau hijau. Seingatku jaman segitu aku bahkan belum kenal Djarum Super, jika Filter terasa terlalu arus-utama. Kemudaanku seperkasa itu, ketololanku.

Astaga, aku, karena telah terbiasa, malah terlempar ke Laut Jawa, Selat Karimata, bahkan mungkin Laut Cina Selatan sebagai seorang kelasi kadet dalam perut Teluk Sampit 515. Tidak ada yang kusesali dari dermaga Kolinlamil itu, kecuali membayangkan betapa adik-adikku menempuh perjalanan ke sana dari Radio Dalam. Mereka pulang lagi, sedang aku masuk lagi ke dalam perut pengangkut tank itu. Di dalamnya, kurasa ada Mentor Basuki Tri Usodo dan mentor-mentor Octopussy lainnya. Terserah apa mau dikata, memang cucomeong aku di situ. My name is Bon. Bono.

No comments: