Saturday, July 10, 2021

Entri Terakhir yang Ditulis di Bagasnami


"Kehidupan kedua telah berakhir. Berikutnya apa?" Begitu tanya Afi. Dalam entri ini, aku hanya ingin bercerita mengenai indahnya hidup. Betapa setiap episode menginap di Bagasnami selalu menyisakan kenangan manis untuk dikecap-kecap di hari kemudian. Aku menulis ini sedang aku menyakiti diri sendiri. Namun tidak 'lah. Semua ini sekadar hidup yang indah, dan tidak, 'Fi. Tidak ada kehidupan yang berakhir. Seperti kehidupanmu, dan kehidupan semua anak perempuanku. Aduhai betapa ingin aku dikenang seperti Mama mengenang ayahnya, H.M. Arief.


Lantas ini. Entah bagaimana kehidupan menghanyutkanku sampai di sini. Duapuluh lima tahun yang lalu mungkin tidak akan pernah terbayang olehku. Namun memang begitulah kehidupan, seperti biasa 'kukatakan asal-asalan. Jodohnya sisa-sisa Laskar Pajang tentu juga sisa-sisa Laskar Padri. Sungguh aku mensyukuri arus kehidupan yang menghanyutkanku ke sini. Inilah arus deras yang melambat namun bertambah keperkasaannya, sampai di muara sana. Inilah aku hanyut di dalamnya. Ini pulalah yang 'kudamba-damba, tiada lagi yang lain. Inilah tujuanku.

Selebihnya hanya kenangan manis. Semanis mie dok-dok Surabaya yang pernah 'kubeli, atau apapun yang 'kumakan di Bagasnami. Ya, senikmat itu. Senikmat tidurku yang nyenyak, baik dalam hembusan pendingin udara maupun dalam balutan penolak nyamuk. Semua adalah tidur yang nyaman dan menyehatkan. Betapa 'kukhayal-khayalkan hape baru pengganti smartfren atau bahkan jersi liverpul, bahkan di sinilah 'kurampungkan Bersetia Bela Pancasila, Demi Jaya Indonesia. Semua serba manis, serba indah, maka ke depannya pun begitu pula. Insya Allah.

Tentu saja es panas. Entah sudah berapa es dipanaskan. Berapa kali Ramadhan. Berapa kali sahur dan buka puasa. Masya Allah, serba indah. Sungguh, inilah indahnya hidup. Aku memulai blog ini mendambakan indahnya hidup di Kemayoran, malah mengalami indahnya hidup di Jalan Tangguh Empat Nomor Tujuh Belas, Kodamar Kelapa Gading. Ya, di Bagasnami ini. Rumah kami. Rumahku. Jangan lupa, Damai Indonesiaku! Masya Allah, sudahlah indah, damai pula. Seperti itulah. Memang Insya Allah tiada yang lebih pantas, patut daripada keindahan dan kedamaian.

Ini jenis keindahan dan kedamaian yang lain lagi. Melodi-melodi memang indah dan damai, seringkali manis. Namun ini keindahan dan kedamaian yang tenang. Nyaman. Tiada rasa khawatir, tiada rasa was-was. Tidak ada. Sungguh, aku tidak sanggup melukiskannya. Paletku kekurangan bianglala yang dapat 'kugunakan untuk menggambarkannya. Jika kau pernah menyimak sesorah yang diberikan mubaligh dalam Damai Indonesiaku, di siang hari yang penuh berkah, penuh kasih-sayang, seperti itulah. Semanis moci durian, tentu saja, yang sudah dipanaskan, dibagi dua. Semanis itu.

Rinciannya tak mungkin 'kuberikan semua di sini. Apakah teh sereh dingin botolan yang dibeli di Sepel malam-malam, belum lagi nasi-nasi kepalnya, aku lupa apakah ada hotdog-digigit-kodog, semua ini tidak akan sanggup menjelmakan kecantikannya. Ini bahkan lebih cantik dari Cantik, karena memang dari sinilah asal cantiknya Cantik. Secantik tiga cucu perempuan beranjak remaja, Khaira, Afifah, Nadia, secantik itulah. Semoga Allah berkenan mengaruniakan hidup yang indah kepada ketiganya, begitu juga pada Kin cucu Ibu dan Mami. Masya Allahu Akbar.

Demikianlah maka menjelang tengah malam yang gerah di tepian Cikumpa, susah-payah 'kumencoba lukiskan segala keindahan, kedamaian. Jelas mustahil. Ragaan apapun akan lungkrah, terlebih di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat. Mau dibatasi bagaimanapun, keindahan akan tetap terpancar, keharuman menguar, karena ini kisah mengenai indahnya kehidupan. Kehidupan yang tiada 'kan berakhir, 'Fi. Jadi tidak perlu kautanyakan apa berikutnya, karena keindahan ini akan terus berlanjut, meretas fana dunia, Rabbana.

No comments: