Wednesday, May 12, 2021

Entri Keduabelas yang Ditulis di Bagasnami


Mungkin aku beruntung, atau entahlah, yang jelas aku memang belum pernah terpaksa tinggal pas di bawah toa masjid. Namun sungguh aku sangat menyukai riuh-rendahnya suara masjid, selalu sangat menyukai. Rasanya seperti tidak sendiri, dengan simponi disharmoni ini. Ini suatu kenikmatan yang besar, masih berkesempatan mendengar yang seperti ini, di bulan suci Ramadhan lagi. Dari ketinggian Lantai 29 di bilangan Mampang Prapatan yang ditebari masjid di mana-mana. Sungguh ini negeri sejuta masjid! Semoga Allah berbelas kasihan pada penduduknya.


Menilik dari pengalaman hari kedua, mungkin memang benar, lebih baik berangkat malam dengan transit sebentar yang nyaman. Sepertinya pengar jetku tidak terlalu parah kini, aku merasa mengantuk pada tengah malam, meski lantas tidur hanya tiga jam. Itu memberiku waktu panjang untuk sahur. Aku sampai dua kali bolak-balik ke lobi menanyakan sahurku. Setelah waktunya sangat mepet, akhirnya aku diarahkan menuju Restoran Flora. Aku sahur lengkap dengan semacam pasta bolones, tumis sayur-sayuran, sedikit nasi goreng dan empat potong sosis. Alhamdulillah.

Setelah mengetik-ngetik, ketika hari sudah sangat terang cuaca, barulah terasa seperti semromong. Ketika itulah aku berangkat tidur, agak sekitar jam tujuh pagi. Sedang tidur-tidur ayam, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Ternyata tes PCR. Aku diminta menarik kursi sampai di depan pintu dan mendongak. Seperti empat hari lalu di Amsterdam, ambang tenggorokanku, lantas lubang hidungku dikilik-kilik dengan semacam katenbads. Begitulah seterusnya sampai aku dilepaskan karena Alhamdulillah sudah dua kali negatif, tiga dengan yang di Amsterdam.


Tadinya sempat terpikir olehku untuk mengabadikan setiap dari lima hari karantinaku, namun pengar jet dan monotoni mencegahku. Tiada benar yang dapat diabadikan kecuali perasaan menunggu-nunggu kapan dilepaskan. Memang sempat, sekadar agar ganti suasana, ke Lantai 17 di mana berada kolam renang. Itu pun tidak seberapa berkesan. Hanya saja, kaki-kakiku patut dicatat. Selebihnya benar-benar sekadar menunggu sampai dilepas. Tidak ingin juga aku punya cerita mengenai Pademangan. Cukuplah surat pengantar jalanku diberi berkepala Pademangan. Sudah.

Selepas karantina lantas ke Radio Dalam sekadar karena lebih dekat, keesokannya ke Bagasnami, menginap sampai selepas buka keesokan harinya. Menghabiskan Minggu di tepi Cikumpa, hanya untuk membuka rekening baru dan berbuka bersama di Warung Solo keesokan harinya. Jadi entri ini sudah berubah judul beberapa kali, dan sudah jelas ia tidak benar-benar ditulis di Bagasnami. Setelah hampir dua minggu, Insya Allah pengar jetku sudah benar-benar sembuh. Pembuktiannya besok. Dapatkah tidur sampai subuh dan tidak tidur lagi setelahnya. Insya Allah.

Justru yang penting dicatat di sini adalah apa yang terjadi pada Rabu ini. Alhamdulillah, akhirnya stasiun-kerjaku siaplah. Dengan meja yang lapang dan rapi begini, Insya Allah pikiranku pun akan tertata. Bagaimanapun, aku hanya pindah tempat, atau--seperti kata Japri--benar-benar kerja dari rumah. Bukan lagi dari 25D8 entah-entah tempatku memesan udon tahu jamur masak saus tirem dan mie udang bawang saus teriyaki seharga Rp 280.000. Di tepian Cikumpa sini, ayam goreng mentega, cah kangkung udang, fuyunghai udang, hanya sepertiganya.

Aku adalah seorang peneliti dari Institut Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Amsterdam. Memang Insya Allah aku bekerja dari tepian Cikumpa, dan ini semata-mata adalah sebagian dari belas-kasihanNya padaku. Aku bersyukur stasiun-kerjaku telah siap. Semoga sumpal-telinga yang ada padaku kini memadai untuk meredam kebisingan, memberikanku ketenangan sampai-sampai aku dapat mendengar diriku sendiri berpikir. Tentu saja tidak malam ini, karena bahkan aku seharusnya mendengar diriku sendiri bertakbir memuji kebesaranNya, Sang Maha Belas-kasih.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.
Tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar, dan kepadaNya segala pujian.

No comments: