Thursday, January 10, 2019

Pukul Sepuluh Malam di Amsterdam. Hampir Beku


Etnografi, woi, etnografi! Bagaimana bisa beretnografi jika terus bereksibisi begini. Ada masalah yang lebih mendasar sebenarnya. Jadi ini hampir setengah sepuluh malam waktu Amsterdam, namun mengapa cahayanya neon putih begini. Di sampingku memang terhidang semug besar chai beraroma medok kayu manis, namun mengapa gelas permata. Hawa di kamar memang selalu jauh lebih hangat daripada di luar yang mendekati beku, namun mengapa pintu berkasa besi langsung terhubung dengan udara malam. Lebih dari sekadar eksibisi, ini disorientasi!

Ini, 'Gar. Miso. Pernah makan belum? (sumber gambar dari sini)
Ah, chai dengan manisnya yang lamat-lamat memang cocok sekali menghangatkan badan di malam musim dingin Amsterdam ini. Lucu, baik Ibu maupun Cantik sama-sama tidak menyukai aroma kayu manis. Padahal mereka suka sekali Belanda, tidak sepertiku yang sedikit memaksa untuk suka. Untunglah Allah sungguh Maha Baik kepada hamba nista lagi durhaka ini, tidak terlalu sulit untuk suka kepada Belanda. Amsterdam, setidaknya. Sebagian besar dari tahun lalu, setidaknya. Hei, coba rasakan. Ini lebih baik dari kali pertama.

Kali pertama, aku pulang tanpa tahu kapan kembali. Mengapa kembali, karena nyatanya ada juga yang disuka. Sekarang setidaknya agak tahu. Aku harus segera mengirimkan abstrak jika benar harus kembali sebentar agak Juni nanti. Namun, terus terang, dengan apa yang tengah kualami dan kutahan-tahankan kini, aku agak gamang menuju jeri. Ah, kau pengecut. Tidakkah Allah selalu menyelamatkanmu sejauh ini, kau hamba nista lagi durhaka. Insya Allah, ini pun akan berlalu dengan selamat tiada kurang suatu apa.

Sesampainya di paragraf ini, entah bagaimana aku tidak peduli apakah aku disorientasi atau tidak. Mungkin karena Selamanya menyumpal telinga membelai jiwa. Ayo, semangat, dong. Akan banyak hal-hal baru menggairahkan terjadi di hari-hari yang akan datang. Petualanganmu. Belum lagi perubahan ke arah yang lebih baik. Cinta Sejati, itulah yang tengah kaurasakan kini. Apapun ini, tidak akan lama. Kau tidak akan tahu, akan tiba hari ketika kaubaca kembali ini sambil tersenyum-senyum merasakan nyaman di jiwa, di raga.

Selalu begitu saja, ‘kan. Jiah, ini apa Suara Musik, terutama demi teringat Mas Ber menyukainya. ‘Emang ‘ga boleh. Boleh-boleh saja, tetapi Banser, Anshor. Ya, boleh juga. Achmad Chodjim. Ya, tidak mengapa. Ada beberapa hal, banyak tepatnya, yang aku menahan diri untuk tidak memikirkan, apalagi sampai bereaksi terhadapnya. Hahaha kupegang teguh pesan Shireen Sungkar untuk tidak menyentuh media sosial selama kerja lapangan. Alhamdulillah sudah dua minggu ini. Biarlah ia yang bermedsos-ria, karena sedang merintang musim dingin.

Dan Mack Si Piso dengan siulan begini, dan kocokan gitar dua perempat... Uah, mistis! Hampir pukul sepuluh dan hampir beku di Amsterdam. Duapuluh empat derajat celsius ketika mendekati subuh di tepi Cikumpa, dan Malam Terpesona! Tidak perlu Seekor Merpati Putih jika toh sama-sama tidak bisa diapa-apakan. Menyesal, ‘sih, namun apa daya. Dari kecil, dari jaman ranjang atas di Kemayoran aku sudah begitu. Begini inilah eksibisi. Berkebat-kebat tanpa peduli, karena memang tiada pernah ada yang peduli.

Ada satu lagi yang sempat membuat deg. Ragaan apa yang cocok untuk kejadian ini, ya. Miniso. Ya, seperti miso tetapi bukan. Haruskah begitu ilustrasinya. Haruskah menyakiti diri ketika disorientasi. Ahaha, ini khas eksibisionisme. Kadang dahsyat, kadang menjijikkan. Ada nasi-nasinya, atau mienya begitu. Jijik! Bisa jadi aku lupa suatu hari nanti, mengapa Miniso. Memang lebih baik lupa. Buat apa yang seperti itu diingat-ingat, terlebih jika satu permainan-panjang agak tiga puluh menitan akhirnya usai, hanya untuk eksibisi!

No comments: