Saturday, January 12, 2019

Jika Koheren Maka Sulit Memikirkan Judul


Sabtu pagi. Masya Allah, betapa mewah, betapa berharga terasa, terdengar. Segala puji hanya bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Betapa aku kini ketakutan. Takut gagal mensyukuri nikmat karunia yang besar ini. Terlebih karena aku memulai pagi yang gilang-gemilang ini seraya menjejali perutku dengan bubur ayam, masih ditambah dengan risoles dua potong. Ya Allah ajarilah hamba mensyukuri nikmatMu yang manapun. Jujur hamba akui, ketakutan ini lebih karena takut kehilangan nikmat, bukan didorong oleh adab yang baik dari seorang hamba nista kepada Tuannya Maha Baik. Ampuni hamba, Ya Ghafuurur Rahiim.

...seperti berkabut di sebelah kiri, padahal cahaya...
Sampai di paragraf kedua ini, sesungguhnya sudah tidak pagi. Sebenarnya, ini sudah jam dua siang dan udara amboi betapa gerahnya. Besar sekali dorongan untuk bereksibisi, namun kutahankan. Aku harus berlatih beretnografi dan itu artinya membuat prosa yang koheren. Deskripsi yang medok, di situlah kekuatan bidang ilmu yang Insya Allah sedang kupelajari. Gerben sudah beberapa kali menekankan, aku tidak perlu mengaku sebagai antropolog. Mengapa demikian, suatu hari nanti mungkin akan kutanyakan. Aku sendiri tidak pernah berniat begitu. Aku adalah sarjana hukum, yang terpaksa meminjam perkakas ilmu sosial untuk mencapai tujuanku.

Terpaksa. Seandainya saja aku punya pilihan lain. Seandainya saja dalam studi hukum sudah tersedia perkakas yang kubutuhkan. Ya, apapun dalihku, aku tidak bisa tidak setuju dengan "Profesor Ular"-nya Mas Santo. Berbicara mengenai apapun, seorang "Profesor Ular" akan selalu tergoda untuk menceritakan kesukaannya, yang mana adalah ular itu. Ketika ia, misalnya, harus melukiskan seekor gajah, kemungkinan besar ia akan terpaku pada belalai atau ekornya saja, yang memang seperti ular. Syukurlah, yang seperti ini pun dimaklumi dalam bidang ilmu yang kupelajari. Itulah ularku, keyakinan bahwa perkakas yang kubutuhkan tidak disediakan oleh disiplin asalku.

Siang ini, meski begitu, aku belum siap untuk berpanjang-lebar mengenainya. Lagipula, bukan di sini tempatnya. Sempat terpikir olehku untuk membuat blog tersendiri guna kepentingan penelitianku, seperti yang dilakukan Karim. Namun, email Fajri mengenai masalah etik mengingatkanku, mungkin yang seperti itu akan berpeluang menimbulkan masalah. Akan lebih baik, Insya Allah, jika aku cukup berbagi data dengan para penyeliaku saja. Uah, segala puji kepadaNya, Maha Suci Ia, ampunilah hamba yang demikian bergairah. Tak sabar rasanya untuk segera mengumpulkan data, sebagaimana tujuan utamaku menempuh ini semua.

Apakah ini semua? Siang hari yang berawan, udara yang terasa seperti berada dalam kukusan, hembusan saksofon Kenny G, secangkir air hangat pembasuh sisa-sisa bandrek dari kerongkongan, dan yang terpenting, kantuk yang, Puji Tuhan, masih tertahankan. Sampai sejauh ini aku masih belum memutuskan judul bagi entri ini. Mungkin karena aku masih sibuk menahan diri untuk tidak meracau, sekadar memberondongkan kebatan-kebatan pikiran dalam benakku yang disaput kabut kantuk. Kabut ini lumayan tebal, meski tidak sampai membuatku sama-sekali tidak berfungsi.

Nah, intinya, jangan terburu merasa senang. Nyatanya, kabut ini terasa semakin tebal. Ia muncul tadi sekitar dhuhur dan terus saja menebal. Ini sudah hampir tiga jam, dan sang kabut sepertinya masih belum menunjukkan tanda-tanda pupus. Jangankan pupus, menipis saja sepertinya belum. Aku hanya tidak mau berpikir bahwa ia menebal saja. Akan halnya aku menulis entri ini, bisa jadi semata usaha untuk melawan kabut yang melanda ini. Aku tidak boleh menyerah, jika ini adalah usahaku untuk mematuhi nasihat Ibu dan tidak lebih. Semua orang sudah menasihatiku. Semoga nasihat Ibu inilah yang paling besar keberkahannya, yakni, sedapat mungkin jangan tidur siang.

Lalu, ragaan. Ragaan apa yang cocok untuk entri semacam ini. Uah, mulailah berbagai pikiran berkebat-kebit. Berkesiuran di antara pikiran mengenai ragaan adalah pertanyaan mengenai makan siang. Tepat pada saat itu, timbul pula kekhawatiran, makan hanya akan mempertebal kantuk. Hembusan dan lengkingan saksofon Kenny G yang berbelit-belit meliuk-liuk ini kuharap membantuku melawan kantuk. Kafein? Tidak dulu, meski perutku sepertinya sedang baik-baik saja. Tadi shubuh dihantam dengan Sarimi goreng ayam kecap saja sanggup. Namun tidak berarti aku boleh memaksanya melampaui batas, bukan?

Entri ini... kuakhiri

No comments: