Saturday, June 02, 2018

Aduhai, Nuzulul Quran di Amsterdam. Amboi!


Betapa Ramadhan itu selalu mengerikan! Rasanya seperti baru kemarin ada enggan, sedikit takut memasukinya. Khawatir tentu saja, harap-harap cemas seperti itulah. Mungkin karena ini di Amsterdam. Aku ingat perasaan memasuki Ramadhan di kampung, khususnya ketika sudah masuk waktu Ashar pada hari terakhir Sya’ban. Terasa seperti ada yang menggeremang. Terasa seperti ada yang begitu saja hangat; dan detak jantung, hembusan nafas terasa seperti sedang mengantisipasi sesuatu yang akan segera menjelang. Seperti itulah memasuki Ramadhan di kampung.


Aku lupa bagaimana aku memasuki Ramadhan kemarin. Tentu saja enggan dan takut, khawatir dan cemas sangat manusiawi. Berpuasa selama 19 jam! Harus kuakui, aku tidak memasuki Ramadhan dengan imanan wahtisaban, atau sekurangnya tidak sepenuhnya. Aku memasukinya selalu seperti pasrah. Mau bagaimana lagi, nyatanya Sya’ban berakhir, nyatanya sudah masuk Ramadhan. Ya sudah. Sebelum Shubuh hari pertama berusaha bangun sahur, bukan karena ingin melaksanakan sunnah Rasulullah SAW, melainkan karena takut lapar, takut lemas, takut sakit keesokan harinya.

Sedangkan ketika makan masih sesukaku saja sering lemas, bahkan terasa seperti mau sakit. Ini berpuasa selama 19 jam! Namun ya begitu. Mustahil tidak berpuasa, di sini banyak orang yang kukenal beragama Islam. Mereka kemungkinan besar berpuasa. Masa aku tidak? Adakah benar ini alasanku berpuasa? Akhirnya begitu saja aku berpuasa, dalam arti tidak makan dan tidak minum setelah Shubuh sampai sebelum Maghrib, yakni antara sekitar jam tiga dini hari sampai jam sepuluh malam, di Amsterdam sini.

Bertahun-tahun menjadi misteri bagiku, bagaimana berpuasa dengan imanan wahtisaban? Apa maksudnya ini? Jelas ini menjadi minatku, karena begitu banyak dosaku, besar-besar pula tiada main-main, benar-benar bukan buatan. Betapatah tidak menarik tawaran itu, diampuni dosa-dosa yang telah lalu! Namun apa itu imanan wahtisaban? Ada yang mengatakan dengan mengharap pahala semata dari Allah SWT. Ada juga yang mengatakan dengan perhitungan, artinya dengan persiapan lahir batin yang matang. Aduhai, bagaimana, aku sangat mendamba kiranya dosa-dosaku yang lalu diampuni.

Benarkah begitu? Adakah adabku, sikap, perilaku, perbuatanku, seperti orang yang berharap diampuni dosa-dosanya, yang besar-besar bukan buatan itu? Lantas mengapa tidak begitu aku? Masih terus saja menumpuk dosa besar apalagi kecil, terus saja seakan-akan tidak takut apa-apa. Tertawa terbahak-bahak seakan tidak punya utang. Amboi sufistik sekali ujaran ini. Tiada terlupa. Jangankan imanan wahtisaban, benar-benar ingin diampuni dosa saja jangan-jangan aku tidak. Jangan-jangan aku seperti orang yang didatangi Ramadhan namun dosa sedikitpun tidak berkurang, bahkan bertambah!

Aduhai, terlebih lagi menghidupkan malam-malam Ramadhan. Apa aku akan berkilah betapa sulitnya, sisa malam hanya lima jam, sedangkan Karim mungkin belum pernah lewat seharipun tarawih di mesjid Turki dekat rumahnya itu. Apa lantas aku akan beralasan lagi, Karim enak rumahnya dekat mesjid sedang aku harus naik bis, sedangkan Cantik sudah membuktikan jalan dari rumahku ke mesjid itu hanya setengah jam. Apa aku akan membantah lagi, itu ‘kan di siang hari sedangkan ini mendekati tengah malam.

Astaghfirullahal-Azhim. Ya Allah, benarkah hamba benar-benar takut dan khawatir puasa hamba, terlebih malam-malam Ramadhan hamba, tidak imanan wahtisaban. Jangan-jangan hamba hanya pura-pura takut, lantas biar kelihatan orang hamba tulis-tuliskan di sini. Mungkin agar orang kagum akan betapa solehnya hamba. Apa benar begitu, Ya Allah, sedangkan hati dan pikiran hamba adalah milikMu semata, bahkan Engkaulah yang menggenggam jiwa hamba, menentukan hidup mati hamba. Ampuni hamba, Ya Allah, hamba mohon pertolongan. Hamba berlindung padaMu darinya, Rabb hamba.

No comments: