Wednesday, June 27, 2018

Dari Satu Solstice ke Equinox Berikutnya


Ini memang bukan berisi nasihat-nasihat, Jo. Lagipula siapa aku memberi nasihat. Ini berisi karya sastra. Ketika mengatakannya, terasa benar lubang dubur berkedut-kedut karena kemalu-maluan. Astaga, mengapa harus begitu benar ragaannya. Apa kau tidak takut ini terbaca orang lalu mengilhamkan perbuatan nista padanya, sedangkan Ustadz Hari Moekti Allah yarham saja sampai meminta maaf kepada para penggemarnya, sedangkan di dalam daftarmainku ada lagunya. Justru itu, agar habis tekanan-tekanan itu, desakan-desakan yang membuncah. Apa bisa habis dengan begini.


Sedangkan suara-suara di lorong menambah rasa sepi, apakah ia akan kempis sendiri. Apakah ia tidak seperti kista yang tidak mau keluar, meski bernanah membengkak berkali-kali. Apakah ia tidak harus dipotong, dikeluarkan. Apakah tidak harus didoakan saja. Ini bukan percakapan denganmu, Jo, seperti kaulihat sendiri. Aku, seperti biasa, bercakap-cakap dengan diriku sendiri, sampai ketemu itu cara untuk mengatasi bisul yang menis-menis, mentheng-mentheng ini. Disudet? Jangan. Dengan cara biasa. Tidak! Justru itulah yang harus sedapat-dapatnya dihindari. Harus!

Tahankan! Bersabarlah! Yakinlah akan tiba waktunya engkau bertemu kembali dengan melodi-melodi yang kausayangi itu, yang dimainkan dengan harpa dan cembalo. Akan tiba waktunya karena ada waktunya untuk segala sesuatu, sampai tiba waktunya. Tahukah kau Elvira Madigan, Jo. Pernahkah kau mendengar. Ceritanya menjengkelkan buatku, meski untuk beberapa orang mungkin mengharu-biru. Melodi mengenainya pun, menurutku, agak tidak sesuai jika ceritanya begitu. Sudah dari kecil aku mendengarnya, Jo, sudah dari ketika aku sebesar keponakanku Satrio Adjie Wibowo kini.

Lebih baik begini, aku berbincang-bincang denganmu dalam sepi. Lebih baik begini, aku menyapamu berkali-kali meski kau tak mendengar sapaku, dan memang jangan sampai mendengar. Tentu saja, siapa yang dapat menahankan bunga-bunga rumput segede gaban. Belum lagi duri-duri menjalar dan bunyi-bunyi serangga musim panas yang sungguh aneh terdengarnya. Raungan parau bangau, teriakan camar, semua ini akan segera hilang dalam beberapa minggu saja, yang terus berganti-ganti dari cerah ke mendung. Begitu saja. Sudah terlempar itu panah-panah asmara.

Inikah yang kuinginkan, sempat kudamba-dambakan. Bisa jadi. Saat itu, ingatkah aku akan semua konsekuensinya. Tentu saja samar-samar. Sekarang semua nyata menjelma di depan mata. Apa jadinya. Akan seperti apa jadinya. Belum dapat dikatakan sekarang. Aku, setidaknya, tidak ingin mengatakannya padamu, Jo. Apalagi denganmu. Penyesalan akan selalu datang belakangan, karena yang dahulu disebut pendaftaran. Ini adalah karya sastra semata. Jangan kaucari kebijaksanaan di sini. Tidak akan kautemukan, dan akan kupastikan memang tidak akan kautemukan di sini.

Lalu apa maksudnya penyedot debu. Paket, kursi untuk tamu, untuk apa. Untuk dilupakan, sedangkan tadi sore aku memungut bantal yang kelihatannya enak untuk dilipat. Siapa tahu nyaman menyangga kepala bagi badan yang sudah tidak bisa tidur telentang ini. Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Aha, pelupaan. Keadaan lupa. Begitu saja Ketua PCI NU Belanda menyapa. Ia tidak bisa sama denganku meski mengapa tidak. Semua pasti sama saja. Ini lebih baik darimu, Jo.

Akan halnya denganmu, Jo, siapa tahu. Ini seperti Lagu September. Hari-hari akan terus memendek dan memendek. Waktu-waktu shalat akan kembali normal, maksudku, seperti di kampung. Akankah aku sanggup terus bersenin-kamis apalagi ditambah hari-hari putih, kusilangkan jari-jariku. Ini seperti penjara, kurasa untuk siapapun. Nikmatilah saat-saat terpenjara seperti ini. Maksimalkanlah pengalamannya, jangan sampai terbuang sedikitpun percuma. Tentu saja sebuah monograf dan gelar akademik tertinggi. Akan tetapi jangan puas hanya sampai di sini. Masih banyak yang dapat diraih.

No comments: