Wednesday, May 10, 2017

Sore Ini Aku Bertemu Selarik Puisi. Berlarik-larik


Setiap kali begini, harus kuakui, aku selalu teringat seniorku Denny Januar Ali. Mungkin pada dasarnya aku iri padanya. Meski begitu, tidak akan kulakukan apa yang dilakukannya. Insya Allah. Mencari nama selagi hidup. Naudzubillah. Mungkin ini benar yang membuat Koh Ah Jin geram padaku. Alih-alih marak sendiri jadi kaisar, aku malah membadut. Aku menolak berkelahi. Betapatah mau berkelahi jika AC saja begitu mudah mengalahkanku. Akhirnya, hanya segelas air bening panas inilah menemaniku menulis-nulis. Aku tidak berani ambil risiko untuk yang ini.


Apa benar yang mendorongku kembali berurusan dengan editor teks ini? Apakah selarik puisi yang kutemui sore ini, yang nyatanya bukan pertemuan pertama, namun selalu saja kumanfaatkan sebaik-baiknya setiap kali ia menjelang? [aduhai, panjang sekali kalimat tanya berhiaskan kalimat berita ini] Seperti kata Baron Inderanta dePari, berharap mendengarku berorasi politik, aku malah berpuisi. Aku tahu, kau pasti mendamba mengayun gada di sampingku, sedang aku entah berpedang entah berpalu. Ini memang memalukan. Aku memang tidak pernah benar-benar suka puisi.

Seperti yang satu ini, aku tidak pernah sengaja mencari. Hanya saja, memang, jika ia menjelang, tentu kunikmati. Ya, aku memang penikmat puisi, namun bukan pecandu. Pecandu mencari-cari setengah mati agar tidak mati. Penikmat menikmati ketika terhidang. Jika tidak ada, ia tidak mencari, apalagi sampai setengah mati. Alhamdulillah, dunia ini tidak menghidangkan puisi telanjang padaku. Dunia selalu menghidangkannya terbungkus rapi dalam kebetulan-kebetulan. Betul, meski tidak baik. Aha, ini dia satu contoh kebetulan yang bukan kebaikan! Puisi.

Puisi adalah kehendakNya. Itu tidak mungkin dibantah. Bagaimana aku akan menikmati, sepenuhnya berada dalam kendaliku. Keputusanku. Beruntunglah yang membersihkan jiwanya, merugilah yang mengotorinya. Puisi, seperti halnya musik, dan semua saja keindahan dunia dapat membersihkan jiwa, namun dapat juga mengotorinya. Sepertinya aku tahu bedanya, Insya Allah. Jadilah penikmat, tapi tidak pecandu. Nikmatilah ketika ia menjelang dan segera ingat dan camkanlah adaNya Penciptanya. Jangan mencandu sampai-sampai kau lupa ingatan. Naudzubillah.

Lihatlah, aku bahkan tidak bicara mengenai puisi. Aku justru berbicara mengenai lain-lainnya, sedang ini entri mengenai puisi. Itu karena aku tidak membatasi puisi hanya selarik. Aku selalu mencoba menjaga kesadaranku bahwa lumrahnya puisi selalu berlarik-larik, dan mereka semua tetap saja puisi. Bagaimana dengan puisi yang tidak cantik, yang digubah oleh seseorang yang tidak dikaruniai citarasa seni sedikit pun? Hmm, yang seperti itu tetap puisi juga sih, meski mungkin lebih baik kita serahkan urusan ini pada Pencipta penciptanya.

Seperti halnya pelangi, seperti itu juga puisi. Selalu suatu kontinuum, tidak pernah patah-patah. Tidak ada puisi yang merah sekali, karena jika ada pasti tidak tercerap. Demikian pula, tidak ada puisi yang ungu sekali, karena jika pun ada pasti tidak tercerap. Namun yang tidak tercerap itu pun pasti terasa kehadirannya, seperti anak jadah binatang jalang dari induknya yang tidak kalah hina-dinanya. Semua membuang muka darinya, namun bagi induknya, itulah anugerah keindahan terbesar dalam hidupnya. Jadi, jangan pernah sekalipun bermuka masam pada ciptaan apapun.

Dalam alam ciptaan ini, sesungguhnya yang Tampak hanyalah Penciptanya. Pencipta yang Gagah sekaligus Anggun. Pencipta yang Penuh Belas Kasih dan Penyayang. Pencipta yang Mulia, yang Suka Memaafkan. Pencipta yang memuji hambaNya yang dihiasiNya penuh dengan budi bahasa yang mulia, cerminan dari Budi BahasaNya. Lantas ada yang sampai hati menghinakan ciptaanNya? Lantas ada yang tidak habis pikir betapa ciptaan bisa seburuk, sejahat, setidakberguna dalam bayangannya sendiri? Sang Pencipta Maha Adil, Maha Mengetahui, Maha Tinggi!

Maha Suci Ia Sang Pengayom yang memiliki Keperkasaan atas apapun yang disifatkan oleh mereka yang mengingkari dan mendustakanNya! Tuh kan, akhirnya entri ini tidak mengenai puisi. Tidak selarik, apalagi berlarik-larik. Maka tidak heranlah jika saudara-saudara Hindu memahami Sang Hyang Siwa menari. Sungguh Indah Tarian Itu! [mustahillah kutulis ini tanpa mengapitalkan huruf-huruf awalnya!] Sungguh Agung. Maha Besar! Maha Kuasa! [Aduh, aku bisa dituduh toleran jika menulis begini, padahal aku sangat radikal fundamentalis. Takbir! Allahu Akbar!]

No comments: