Monday, May 15, 2017

Mata-matanya Masih Hijau. Mata Hijaunya


Malam ini begitu saja aku ingin mengikat seutas pita kuning di sekeliling batang pohon nangka, semata-mata karena kayunya sama keras dengan pohon ek; dan semata-mata karena sudah gila apa di Cikumpa sini mencari pohon ek. Tidak juga, sih. Mungkin karena aku tadi, sepulang dari bersantap malam yang mewah, (fine dining) melihat entah seorang gadis, entah ibu muda, di kamarnya yang kumuh di seberang pekuburan Lemperes. Apakah ia merasa aku membunuhnya secara perlahan-lahan dengan laguku, aku tidak pasti. Jelasnya, lagu itu malam ini tidak ada dalam daftarku.


Daftar? Lucu ya. Masa jaman sekarang mendengarkan lagu dalam daftarmain. (playlist) Dahulu, mendengarkan lagu sepenuhnya terpulang pada selera entah siapa yang main memindahkannya ke dalam format pita kaset, mungkin dari vinyl. Dan selera musik si entah-entah ini biasanya mantap, meski ngeselin karena urutan album aslinya biasanya diacak-acak, sampai-sampai kita tidak mengenali lagi. Yah begitulah jaman kejayaan pembajakan. Jaman kaset bisa dicoba, didengarkan dulu apa isinya, didengarkan lagi yang lainnya, dicoba lagi dan seterusnya hahaha...

Namun malam ini bukan mengenai kaset apalagi file mp3.  Malam ini mengenai perempuan itu, yang duduk di lantai membelakangi pintu yang terbuka. Mungkin ia sedang menonton televisi. Mungkin televisinya masih kondean. Apapun itu, lampu kamarnya temaram sekali meski putih cahayanya. Dekade kedua milenium ketiga dan masih saja ada yang seperti itu. Pasti lebih banyak lagi, banyak sekali. Teramat sangat banyak sekali, saking aja hanya satu ini yang sempat terlihat olehku. Lantas, Bang Hotma FHUI '86 begitu saja mengeluh susah cari uang, dan betapa uang cepat sekali habisnya.

Aku si Tolol ini selalu merasa sebagai bagian dari ibu itu dan kaumnya. Percuma saja semua analisis sosial apalagi teori politik terlebih lagi filsafat hidup. Hanya bertahan hidup itu saja kesibukan sehari-hari. Lalu Aku si Tolol ini masih saja berkhayal hidup di tengah-tengah mereka, bukannya berjualan bubur ayam misalnya, malah merenung-renung berpikir-pikir mengenai berbagai filsafat, teori dan analisis. Tersisa kini hanya filsafat, teori dan analisis, dan mereka semua tidak berhenti tolol. Aku si Tolol ini, sok-sokan miskin, sok punya empati sosial, sok membela kaum yang lemah.

Lemah? Kau 'tu yang lemah! Lemah segala-galanya. Bahkan ketika kau berpikir tekadmu menguat, badanmu kini sudah lemah. Mereka kuat. Mereka hebat. Mereka, di antaranya, sanggup berjalan berkilo-kilometer memikul mainan anak-anak entah-entah dan permen-permen. Illahi Rabbi, berapa yang dihasilkannya dalam sehari? Adakah ia punya keluarga, ia yang selalu berbaju rapi dan berkacamata, mirip potongan Presiden Joko Widodo ketika kuliah? Illahi Rabbi, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali merasa kasihan padanya, mungkin memanjatkan doa padaMu dalam hati.

Kerismu, mana kerismu? Keris bohong-bohongan yang kau pakai waktu terpaksa jadi pagar duda? Keriswijoyo Budi Susilo Supandji? Hunus kerismu, kalau ada. Angkat kerismu dengan warangkanya sekali setentang dadamu. Hunus! Amangkan ia di udara. Ancam setan-setan durjana, drubiksa-drubiksa haus darah, takut-takuti mereka dengan kerismu. Hah! Sedangkan pada Bang Hotma saja kau tidak bisa apa-apa. Kau bahkan tidak berani menegaskan pendirianmu, kalau kau punya! Jangan panggil-panggil Tuhanmu, punya malulah sedikit, engkau yang katanya priyayi!

Aku luruh terduduk di atas karpet Persia yang sudah kumuh dan lusuh, meski tiap hari kukebuti dengan sapu ijuk, kadang kebutkan di udara, di depan beranda sangat sederhanaku. Meski kulepa sekujur badanku dengan adonan kapur dicampur minyak kelapa, bola-bola besi meriam Peranggi toh masih sanggup menembus, langsung ke jantung hati. Dalam keadaan seperti ini, bahkan aku masih egois, masih berharap setidaknya badanku terasa nyaman. Biar apa kalau nyaman? Meneruskan perjuangan? Sedangkan mulut Pak Hamid Arif sudah bergerak-gerak siap meludah kejijikan.

"Apa yang dapat kuperbuat," tanyaku menengadah. Mukaku pasti sok memelas begitu, dasar pemain watak. Ternyata yang kulihat bukan lagi wajah Pak Hamid Arif dengan kumis njliritnya a la Clark Gable, melainkan Aishwarya Rai dengan iris matanya yang hijau. Ia menari-nari dalam iringan senandungnya rintihan Manolo Otero. Aish tentu tidak peduli padaku, bahkan tampaknya ia sama-sekali tidak menyadari keberadaanku, apalagi keadaanku. Lantas saja, aku beringsut-ingsut seperti ingus pergi dari sini. [Mungkin ada baiknya aku membuat semacam kultwit atau sinetwit sekali]

Sriti, jangan dengarkan kata-kata mereka

No comments: