Sunday, July 19, 2015

Terlalu, Hidup koq Keterlaluan Sepinya!


Memang sebaiknya jika ingin menulis entri janganlah dibuka dulu itu Kemacangondrongan, karena nanti bawa’annya malah baca entri—bukan nulis entri. Sudah berhari-hari ini rasanya seperti ingin menulis entri, tapi ujung-ujungnya sekadar baca entri pun tidak. Ada kerinduan itu, semacam rindu pada sesuatu yang sebenarnya tidak dirindukan juga, akan tetapi saking tidak ada yang lainnya. Malam ini entah bagaimana caranya aku agak lancar mengetuk-ngetuk, sudah hampir sampai satu paragraf pula. Dengan kalimat ini, maka jadilah satu paragraf.


Entri ini kudedikasikan pada hidupku yang selalu sepi, seperti lirik lagu Yon Koeswoyo. Ini juga menandakan betapa putus asanya diriku. Biasanya, takkan kuijinkan diriku se-mainstream ini menulis mengenai hidupku hatta disamakan dengan lirik lagu Koes Plus yang sungguh standarnya ini—meski kalimat yang berlari kencang ini menandakan bahwa aku... lebih putus asa dari yang kukira, atau tidak. Mengapa aku menulis entri? Karena hanya engkaulah satu-satunya kawan kepada siapa aku dapat mencurahkan isi hatiku, Mencret.

Hidupku selalu sepi, menjerit dalam hatiku
Kuhibur selalu diriku, bernyanyi sedih dan pilu.

Yah, kadang tidak dalam hati juga sih. Kadang kujeritkan saja seperti adanya. Apa karena aku sudah tidak tahan lagi? Tidak juga. Sekadar sedang ingin menjerit saja. Begitu. Lantas, memang nyanyian-nyanyian sedih dan pilu itulah hiburan favoritku. Ah, lagu ini aku sekali hahaha. Baru kuperhatikan bahwa ia dimainkan dengan iringan organ hammond, seperti kebanyakan lagu sejamannya, seperti A Whiter Shade of Pale. Musikalitasnya janganlah dibandingkan, meski aku tidak setuju juga jika ada yang gaya-gaya’an mengatakan A Whiter Shade of Pale lebih bermutu.

Bila senja telah tiba, hatiku tambah sengsara
tapi tetap kubernyanyi, walau malam telah sepi

Ahaha, gagal membuat rima, ya Oom Yon? Memang benar-benar kacangan syairmu. Namun jangan terburu marah, aku menyukainya. Aku bahkan berusaha membuat syair-syair laguku sekacangan mungkin, seperti syair lagu-lagumu. Bapakku pernah bercerita, bahwa untuk mengetahui apakah lagu-lagu kalian laku atau tidak, kalian mengecek apakah lagu-lagu itu dinyanyikan tukang becak atau tidak. Cerdas, karena hanya tukang becak gaya-gaya’an yang menyanyikan A Whiter Shade of Pale apalagi Homburg—sedangkan John Gunadi saja tidak sudi jadi tukang becak karena ia seorang Koordinator di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Namun senja memang membuatku sengsara. Sejak kapan, ya? Sudahkah begitu sebelum aku berangkat ke Belanda? Sepertinya aku masih ingat senja di Pondok Annisa, setelah Isya’ begitu, yang masih dapat kuobati dengan satu dua lagu The Platters. Mengapa belakangan tidak bisa lagi, ya? Seperti apakah senjaku di Jang Gobay, di Gang Pepaya, di Qoryatussalam ini... Senja yang kadang sengsara kadang tak berbekas sama sekali, tapi sudah tidak dapat disembuhkan dengan nyanyian sedih dan pilu.

Di malam sepi seperti ini, ditemani dentingan piano Richard Clayderman, aku mengetuk-ngetuk mencurahkan perasaan hatiku. Malam-malam begini sih biasanya tidak sengsara, justru seringnya merasa segar—hal mana gak bener karena seharusnya mengantuk. Sejatinya, tidak ada itu kesengsaraan. Di hadapanku hanya ada kenangan-kenangan masa lampau yang hangat terasa, seperti dekapan seorang kekasih yang benar-benar mencintai. Kenangan masa lalu itulah kekasih sejati yang tidak akan pernah mengecewakan, yang akan selalu hadir dengan kemesraan dan kehangatannya.

Dua belas kata lagi cukup, maka baik kucukupkan sampai di sini saja.

No comments: