Sunday, July 26, 2015

Emas, Perak dan... Kelelawar di Siang Bolong


Dalam keadaan seperti ini, bisa saja aku tiba-tiba percaya tahyul. [Halah!] Maka buru-buru kutulis entri ini. Tidak, lah, memang tidak estetis saja. Itu saja. Adakah yang penting untuk dicatat? Tidak juga. Adakah hari-hariku sepenting hari-hari Mochtar Lubis dalam tahanan militer? Tentu saja tidak. Adakah kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran subversif? Tentu saja hahaha. Jika saja fisikku tidak melemah begini rupa, mungkin akan kuwujudkan semua pikiran subversif itu, yang kuakui terkadang pervert juga.[Naudzubillah!] Namun demikianlah kehendak Tuhan atasku.

Aku sedang tidak dalam suasana hati yang tepat untuk bicara mengenai subversi maupun perversi. Seandainya badanku agak enak sedikit, mungkin aku akan berdansa waltz mengelilingi livingroomku yang tiada seberapa ini, karena Geld und Sieber ini indah sekali. Aku tentu saja tidak akan pernah menjadi atase angkatan laut seperti Commander Victor Henry, meski Istriku ada juga lah mirip-miripnya dengan Rhoda Henry—yang diperankan oleh Polly Bergen. Livingroomku pun amat sangat menyedihkan jika dibandingkan dengan kastil musim dingin Herr Stoller.

Jiahahah... saking percayanya aku pada tahyul, sampai kuubah dari “terakhir” menjadi “terbaru.” Alhamdulillah, menilik perasaanku sekarang, bahkan entri terbaru tidak akan mengenai masuk angin, tetapi mengenai... kelelawar! Tidak semuanya sih, cuma overture-nya saja. Seperti halnya kelelawar di benderangnya siang hari, maka aku undur diri ke dalam guaku—atau tepatnya, gua kami bangsa kelelawar. Kelelawar seperti kami kurasa masih cukup banyak jumlahnya, kami yang berbagi relung-relung gelap dalam gua-gua. Masih baguslah jika itu gua alami, ada juga di antara kami yang menghuni loteng-loteng gedung tinggi buatan manusia.

Kini masalahnya lebih rumit dari sekadar menyerah atau tidak. Sebenarnya aku tahu dari dulu kalau masalahnya jauh lebih rumit dari sekadar itu. Aku dari waktu ke waktu memang harus menyerah, undur diri ke dalam relungku, karena seperti yang dikatakan Goklas, berkuasa berarti menyingkirkan orang lain yang ingin juga berkuasa. Sungguh naif jika aku menolak kenyataan ini. Aku yang gaya-gaya’an bicara mengenai kekuasaan dan cara-cara merebutnya, namun menolak hukum dunia yang paling mendasar itu? Itulah enaknya jadi Goklas. Kakinya selalu menjejak tanah dengan kokohnya.

Maka melompatlah aku beberapa langkah sampai menjadi... peseluncur es. [ada tidak ya bahasa Indonesia seperti ini?] Dengan rasa badan yang seperti ini, sebenarnya agak jeri aku membayangkan padang es, baik sungguhan maupun buatan—meski pernah aku berada dalam keadaan yang sebenarnya. Bahkan aku sempat naik reuzenrad di tengah udara malam musim dingin yang lembab berangin. Tidak, aku tidak akan undur diri ke alam mimpi. Bahkan, aku tidak akan menyelinap bersembunyi dalam kenangan masa lalu. Berseluncur di atas es ini seperti angin lembut nan sejuk menerpa wajah. Menyegarkan badan. Menyehatkan jiwa.

Apapun yang telah ditentukanNya untukku, semoga aku mampu menghadapi dan menjalani sebaik-baiknya, semampuku. Akan sampai di mana perjalananku, bukan urusanku. Aku hanya berkuasa atas selangkah saja yang akan kuayun. Ya, langkah yang satu ini saja. Bahkan langkah berikutnya pun sama sekali bukan urusanku. Hanya yang satu ini. Ya Allah, hamba memohon kepadaMu, jangan jadikan hamba termasuk dalam golongan mereka yang merugi, yaitu yang hari ininya sama saja dengan kemarinnya—apalagi sampai lebih buruk. Tunjukkanlah kepada hamba jalan menuju penghambaan yang lebih baik lagi hanya kepadaMu, Rabb hamba.

No comments: