Friday, July 10, 2015

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan 1436 H


Entri ini kutulis dengan teknik kilas-balik, [halah!] ketika perasaan-perasaan itu sudah berlalu untuk beberapa jenak. Sungguh aku sayang untuk tidak menuliskannya, karena berlalunya perasaan-perasaan itu harus diiringi sekurangnya dengan ucapan hamdalah dengan hati yang sehadir mungkin. Benar seperti dikatakan dr. Riri, jika normal maka lebih percaya diri. Memang tidak bisa dijelaskan lain kecuali beberapa hari terakhir ini terasa sungguh melelahkan bagiku. Entah karena cuacanya, entah karena badanku, entah karena keduanya, yang jelas aku tidak mampu lagi bermotor jauh-jauh.

Ini adalah sepuluh hari terakhir Ramadhan—yang konon kata sebuah hadits yang konon katanya lemah—adalah hari-hari di mana pintu-pintu neraka ditutup. Sementara itu, apa yang kurasakan adalah badan yang lemah, lesu dan tidak bergairah. Aku punya Surbex Z boleh dikasih klinik dekat perempatan GDC, apakah sekadar ini solusinya? Surbex Z pasti lebih dahsyat dari Surbex T, vitamin yang sering disebut-sebut Ibu jaman... kapan, ya? Jamanku SMA? Itulah kenyataannya. Bahkan dari jaman SMA sekalipun fisikku tidak pernah benar-benar termasuk yang paling prima.

Menulis secara kilas-balik begini, seharusnya tanpa paralaks siklik badok. Ini agak mudah karena suasana Ramadhan biasanya cenderung monoton, rutin, dan itu bagus. Sudah lama aku berpikir, mudah saja beribadah dalam bulan ini, karena sebagian besar orang pun melakukannya, meski sekadar karena rasa malu jika sampai terlihat orang lain tidak melakukannya. Ada juga yang mengatakan, Ramadhan itu semacam pesantren. Di dalamnya kita dikondisikan untuk berlatih, guna menghadapi “perang” yang sebenarnya selama sebelas bulan sisanya dalam setahun.

Apa sebenarnya yang memicu? Jelasnya, tengah hari bolong aku mencongklang Vario ke Radio Dalam. Sesampainya di sana entah mengapa aku merasa lelah sekali. Dehidrasi sudah jelas. Puasa yang entah berapa tahun lalu, aku pernah mengalami kejadian yang mirip. Aku berjalan kaki [kenapa, ya? Kenapa tidak naik motor?] dari simpangan Poltangan menuju bengkel gitarnya Manto. Aku ingat sepulangnya dari situ, naik angkot, terasa berat sekali badanku—meski aku tidak bisa memastikan sekarang mana yang lebih berat, ketika itu atau ketika ini.

Lalu acara buka puasa bersama di kediaman Pak Teddy di Bukit Golf Pondok Indah. Aku mengundurkan diri lebih dulu karena kepala sakit bukan alang-kepalang. Waktu itu sekitar setengah sembilan, sedangkan acaranya sendiri baru benar-benar selesai lewat setengah sebelas. Pak Try pasti suka dikelilingi oleh anak-anaknya, bahkan beberapa sudah dapat digolongkan sebagai cucunya. Rasa tidak nyaman itu sangat akrab, yang jika dilacak-balik kurasakan kali pertama di Magelang. Aku tidak suka bersaing. Aku lebih suka sendirian di pojokan sepi.

Akhirnya, malam itu aku tidak jadi pulang. Aku terpaksa kembali ke Radio Dalam dan menginap di sana. Ya, aku kelelahan. Dengan yang satu ini jelas tidak bisa sembarangan. Hanya ini yang dapat kulakukan sekarang—menjaga agar jangan sampai kelelahan—sementara terus berusaha memperbaiki kualitas hidup. Makan sudah jauh lebih baik. Setidaknya, racun-racun dalam bentuk minuman sasetan sudah berkurang. Tinggal lagi olahraga. Jalan pensiunan harus digiatkan dan dilazimkan kembali, karena bagi oom dan tante juga kakek nenek cukup jalan kaki.

Demikianlah suasana kebatinan sepuluh hariku yang terakhir di Ramadhan 1436 H ini—merasakan badan yang lemah. Jika direnung-renungkan, ini adalah suatu berkah tersendiri. Jika tidak dibeginikan, bisa jadi di sepuluh hariku yang terakhir ini aku malah begajulan. Setidaknya, dengan rasa badan yang luluh-lantak ini, jadi banyak waktuku untuk berkeluh-kesah, meratap-ratap. Untuk orang setuaku begini, berkeluh-kesah dan meratap-ratap tidak bisa lain kecuali hanya kepada Yang Maha Mendengarkan Keluh-kesah, Maha Pengiba, Maha Belas-kasih.
 

No comments: