Tuesday, June 02, 2015

Selamat Hari Raya Waisak 2559


Itulah yang kulihat jika aku menengok ke kiri agak ke arah jam setengah sembilan, agak mendongak sedikit. Hari Raya Waisak 2559. Daripada bicara yang tidak-tidak mengenai sesuatu yang aku tidak benar-benar tahu, lebih baik, seperti biasa, aku bicara mengenai diriku sendiri. Malam ini selepas Maghrib tadi hujan turun lumayan derasnya. Alhamdulillah. Kemarin-kemarin aku sampai terpaksa sekadar mendengarkan suara hujan dari Youtube. Sekarang benar-benar terjadi, aransemen cantiknya John Fox dari BBC Studio London, ditingkahi hujan yang lumayan derasnya.


Selamat Hari Raya Waisak 2559, dan ingatanku melayang pada kenangan masa kecil menonton acara Mimbar Agama Buddha asuhan Bhikku Paññavaro Thera. Entah mengapa, nama beliau melekat sekali dalam ingatanku—dan harus kuakui, aku memang agak terpesona oleh beliau. Cara beliau bicara yang tenang, dengan suara yang medok menyejukkan, (ternyata beliau orang Blora) itulah terutama yang kuingat mengenai beliau. Kurasa di sana-sini aku sudah menyindir (halah) mengenai minatku pada asketisisme dan/atau monastisime. Tentu saja aku terpesona pada Bhante Paññavaro.

Namun, beginilah keadaan sahaya kini. Sakit tukak lambung yang sahaya derita bertambah parah, sedangkan terus saja saya menambah kedurhakaan dan kemaksiatan. Padahal sudah ada yang mengingatkan, sebuah selebaran dakwah begitu, bahwa asam lambung itu obatnya tobat. [sama tidak ya asam lambung dan tukak lambung] Bukan sahaya tidak percaya dokter, tapi kalau saja dokternya murah, berikut obat dan berbagai alatnya, sahaya tidak akan menunda lebih lama lagi. Bukan sahaya tidak berusaha.

Subhanallah, lagu Manhattan ini cantik sekali. Aku belum pernah ke Manhattan. Tidak ingin juga ke sana. Aku merasa sudah cukup tahu Manhattan sekadar lewat cerita Umar Kayam mengenai seribu kunang-kunang di sana. Padahal aku yakin jaman Umar Kayam di sana pun tidak ada sawah di Manhattan. Kunang-kunang adanya di Magelang, tapi itu dulu ketika masih banyak sawahnya. Terakhir ke sana, apa yang dahulunya sawah sudah berubah menjadi rumah dan rumah dan rumah.

Sekarang Le Lac du Come. Lagu kesukaan Ibu. Aku tadi bertemu Ibu, dan Ibu terlihat sedang senang. Alhamdulillah. Tinggal Bapak. Akan tetapi, kurasa keadaan Bapak masih lebih baik karena setidaknya Bapak masih punya banyak saudara dan sering bertemu pula. Ibu sehari-harinya, sepanjang hari, setiap hari di Dalem Jalan Radio bersama Gendut, Adjie, Mbak Nur, kucing-kucing, Sutoyo, Bundi, kadang Mbak Yayah. Aku tidak bisa lain kecuali berdamai dengan keadaan ini. Salam Bunda Maria!

Beginilah keadaanku. Apa aku tidak malu begini terus setelah lewat hari Minggu nanti? Apa yang akan kulakukan untuk menandainya? Haruskah aku mulai menulis sesuatu yang serius? Di sini? Haruskah aku terus menulis? Di Hari Raya Waisak yang basah berhujan ini, aku tidak tahu apakah hujan juga di Borobudur. Menurut prakiraan, di sana pun hujan badai petir ringan. Di Hari Raya Waisak yang berbadai petir ini, aku berharap semoga pada jam 23.18:43 nanti, cuaca cerah di Borobudur sana sehingga sang Purnamasiddhi dapat terlihat gemilang.

Wiranggaleng seorang Buddhis. Di akhir hidupnya, Gelar mengucap Salam Bunda Maria bila berdoa. Pada menjadi seorang Muslim, seperti aku. Semoga Allah mengampuniku, memaafkanku. Semoga sebelum ajal menjemput, aku benar-benar telah menjadi seorang Muslim yang sebenar-benarnya, sesuai dengan ketentuan Allah SWT, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Hanya beliaulah yang patut menjadi uswah, teladan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada beliau dan keluarga, para sahabat, para pengikutnya hingga di akhir jaman.

Om, Santih, Santih, Santih Om.

No comments: