Saturday, September 15, 2012

Francis Goya: Bulan Biru Bersalah Lagi


Malam ini sungguh panas terasa udara. Aku terbangun tadi sekitar jam satu dengan perut perih, setelah kurang lebih pada jam sembilan atau setengah sepuluh tadi terasa mengantuk sekali. Sekitar jam satu aku terbangun dengan kepala basah. Rambut di belakang kepalaku memang sudah gondrong. Memang hanya di belakang dan samping karena yang depan dan atas sudah tidak mau tumbuh lagi. Terbangun dan bingung mau makan apa, akhirnya, ujung-ujungnya, mie instan lagi. Entah bagaimana ketika terbangun tadi terngiang di kepalaku You're Gonna Lose that Girl. Jadilah aku menonton konser Beatles di Washington Coliseum pada 1964. Namun kini aku mendengarkan Elvira Mardigan yang dimainkan oleh Francis Goya. Kini, ditingkah manisnya petikan gitar, (ooh... sekarang Concerto d'Aranjuez), dini hari sekitar jam tiga, aku terpikir mengenai perceraian. Mungkin aku juga akan menulis separagraf mengenai SMA Taruna Nusantara. Namun biarlah untuk sejenak kukenang terlebih dulu Kemayoran di awal tahun '80-an. Apa yang ingin kukenang darinya? Entahlah. Mengapa aku tidak shalat tahajud saja?

Tidak pernah kusangka dan kurencanakan. Tidak pernah terlintas dalam benak sampai kapanpun, bahkan kini juga tidak. Terlebih juga mendengar lagu-lagu yang telah membentukku, membentuk kejiwaanku sedari kecil, sungguh tidak habis pikir. Aku hanya ingin mencintai satu orang perempuan saja dalam hidupku. Satu saja, dan aku ingin melakukannya sesempurna mungkin. Aku selalu yakin bahwa telah tercipta bagiku seorang perempuan, yang memang terlahir hanya untukku, seperti halnya aku terlahir hanya untuknya. Sampai ajal memisahkan kami untuk sementara, semoga bersatu kembali di keabadian. Sampai kini pun aku masih meyakininya. Akan tetapi, sungguh berbeda apa yang kualami sejauh ini, dengan segala luka yang entah bagaimana caranya agar sembuh. Masih saja terus nyeri. Apakah pengingkaran merupakan satu-satunya cara? Sleepy Shores ini sungguh menyakitkan. Sungguh terasa sangat segar dalam ingatanku, seakan baru saja terjadi. Sungguh menyakitkan. Apakah aku lebih menyukai rasa sakit itu? Tentu saja tidak. Aku ingin hidup, meski kini aku sudah kurang yakin mengapa aku harus terus hidup, karena berbagai hal yang terjadi belakangan ini.

Lalu SMA Taruna Nusantara. Sampai kini, entah bagaimana, setahuku kampus SMATN itu berada di bekas dusun Mbarepan. Seingatku itulah yang pernah diceritakan oleh Almarhum Pak Sadja; atau hanya khayalanku? Lantas mengapa mereka menyebutnya sebagai Pirikan sekarang? Sudahlah, tidak penting. SMATN itu identik dengan prestasi. Prestasi? Kurasa, aku adalah salah satu dari segelintir siswa dan kemudian lulusan sekolah itu yang tidak pernah berprestasi, selama bersekolah di situ dan sesudahnya. Aku yakin aku tidak sendirian. Sejujurnya, entah bagaimana caranya, entah sejak kapan, aku tidak pernah merasa perlu berprestasi. Aku tidak tahu mengapa beberapa kawanku tidak berprestasi, namun, dalam halku, mungkin karena aku memaknai prestasi dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Hahaha... jadi ingat tulisanku jaman edan dulu, "Kemenangan Absolut." Tidak penting apa kata orang, selama engkau yakin kau menang, bahkan kaulah sendiri pemenang itu, maka pada saat itu jugalah kau mencapai kemenangan absolut. Hahaha... sungguh naif. Sungguh aku bersyukur tidak begitu lagi cara berpikirku mengenai kemenangan dan prestasi.

Lalu bagaimana caraku sekarang memaknai kemenangan dan prestasi? Kemenangan akan dicapai kelak di "hari besar" itu, sedangkan prestasi ya sama saja dengan cara semua orang memahaminya. Aku berprestasi, misalnya, kalau sampai dapat meraih gelar doktor dari institusi tujuanku itu. Amin. Aku berprestasi, misalnya, kalau sampai jadi profesor, seperti yang kiranya sangat diinginkan Bang Andri hohoho. Itulah prestasi. Aku menang jika kelak di hari besar itu, aku tahu bahwa Allah mengampuniku atau yang sejenis dengan itu. Selebihnya, aku mencoba menjalani hidupku dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan. Sudah. Begitu saja siklusku. Aku tidak punya siklus tahunan kecuali harapan untuk sampai ke Ramadhan berikutnya dan menjalaninya dengan lebih baik dari tahun sebelumnya. Pemberhentian-pemberhentian tentu saja ada, dan terus diusahakan dan didoakan. Biarlah orang menganggapku lebay ketika aku merasa (walau terpaksa) telah bersumpah mengusahakan kejayaan nusantara, sebagaimana telah dilakukan oleh ribuan orang yang lulus dari SMA Taruna Nusantara. Biarlah kutulis di sini agar orang yang mengunjungi blog ini saja yang tahu, bahwa yang kumaksud dengan kejayaan nusantara itu adalah ketika tidak ada lagi orang susah lahir batin di tanah air negeri pusaka ini.

Karena memperjuangkan kejayaan nusantara jasadnya saja hanya akan mendapati setumpuk bangkai

1 comment:

Anonymous said...

Akhirnya blog ini kembali memiliki entri paling baru. Menyenangkan. Hampir semua tulisan di blog ini saya baca (mungkin semua entri, tanpa terkecuali). Membaca blog ini selalu menyenangkan. Semacam ada perasaan hangat di dada, juga senyum simpul. Dan, lalu, saya akan kembali teringat ucapan langsung si penulis : Buat apa hidup terlalu serius? Dan senyum simpul tadi adalah semacam sebuah afirmasi terhadap hidup yang pada intinya hanya kelakar ini.

Menyitir William Arthur Ward : The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires.

Mungkin si penulis adalah spesies guru yang terakhir. Semoga bisa jadi marbot Masjid bergelar doktor, Bang. :)