Saturday, August 17, 2024

Renungan Kemerdekaan ke-79. Ngungun, Nggetuni


Aku selalu tahu kalau di situ ada suara cello menemani vokalnya pakde Russell, namun baru sore menjelang ashar ini terasa begitu mengena. Benar saja, baru satu kalimat, adzan ashar sudah menggema membahana dari masjid qoryatussalam. Ketukan piano memang mendominasi nada-nada awal yang kau cintai, namun gesekan cello seperti perasaan hangat yang membalut sepasang kekasih tua, yang sudah puluhan tahun mencinta. Orkestrasi pada lagu-lagu pasokan udara memang menegaskan jatidirinya dalam genre batu lembut. Ini entri mengenai apa sebenarnya.
Uah, ini lagi kuasa cinta menghembalangku tunggang-langgang ke atap asbes sepanjang cimone gama satu, tempatku bertengger ketika baru saja memproduksi testosteron. Namun harum wangi masakan ibu, apapun itu, yang akan selalu kukenang sepanjang hayat. Apakah itu tumis buncis tauco atau semur lapis. Betapa bapak bekerja keras sekali ketika itu, di usia awal empat puluhan. Ketika ia mengira segala sesuatu telah berada pada jalur yang semestinya, seperti pesawat terbang sudah berlari di landasan pacu tinggal menunggu mengudara, aku menghancurkannya...

Ketika kau tanpa cinta menyeretku ke masa-masa di antara itu, masa-masa berkhayal mengenai misi membantu pemerintah Makronesia memberantas pemberontakan komunis, dan masa-masa kubuyarkan segala pidato bapak sebagai perwakilan taruna terbaik naik pangkat kopral. Di sini aku jadi teringat Syukran yang menjadi tolok ukur Takwa sampai-sampai ia masuk Teknik Kimia ITB. Dari jaman itu sampai kapanpun aku akan selalu menjadi si tolol dengan pikiran yang muluk-muluk, tidak seperti Takwa yang mengandalkan daya saingnya yang hebat.

Ini pasti waktunya bercinta. Dekap aku kuat-kuat, cintaiku semalam suntuk mengembalikanku ke atas atap asbes cimone gama satu. Namun malam ini mengembalikanku kepada Syukran yang punya kaset pasokan udara bergambar balon udara, yang setelah kugugling ternyata yang kucintai dari 1981, bagaimana bisa. Entah bagaimana, tetapi begitulah ingatanku, seperti selalu kukatakan pada anak-anak yang belajar hukum adat: akurasi fakta tidak penting, yang penting afeksi, semangatmu mengenai topik-topik yang dibahas. Antusiasme saja dapat memberimu A.

Nah, biar tidak bingung memang harus kurang dua orang kesepian. Ini adalah pavilyun di sore hari menjelang ashar yang bahkan aku tidak ingat apakah sholat atau tidak. Aku hanya ingat aku dikatakan "nyantri" oleh ibu ketika sedang mendengarkan sandiwara radio dan sepertinya buru-buru sholat ketika adzan ashar berkumandang. Aku lahir dua hari sebelum ulang tahun kemerdekaan bangsaku yang ke-31. Akan tetapi, gara-gara melodi yang tidak dirantai aku terlontar ke rumah pesiar di malam hari sebelum jam 20.30, karena 21.00 kami sudah harus apel pulang pesiar.

Aku membutuhkan cinta ibu, istri, dan anak-anak perempuanku. Kenapa harus anak perempuan, tanya Awful. Karena anak laki-laki, seperti aku, menghormati, mengagumi, memuja. Ya, meski kini setelah bapak meninggal aku menyesal mengapa aku tidak memeluknya ketika hidup. Aku juga tidak bisa membayangkan memeluk anak-anak perempuanku, terlebih kini setelah mereka beranjak dewasa. Di hari kemerdekaan bangsaku yang ke-79 ini, aku membutuhkan cinta, seperti banyak saudara-saudara sebangsa setanah-airku, terlebih yang hidup di kolong jembatan.

Oh, Jade. Mengapa kau bawa aku kembali ke masa-masa menyenangkan ini, yang enggan kulepas dari anganku, yang kukenang-kenang tiap saat kumerasa sendu. Aku nyatanya tidak punya banyak kecuali kenang-kenangan ini. Bahkan seluruh goblog ini adalah mengenai kenang-kenanganku, yang tadinya ingin kuwujudkan lagi, kuhadirkan lagi dalam bentuk wadag, namun tanpa segala kesakitan dan kepedihan yang ditahankan bapak ibu. Kurasa memang tolol rencana seperti itu, karena yang seperti itu mustahil di sini. Dunia ini tempat segala sakit dan pedih.

Nusantara Baru, Indonesia Maju, Kentutku Bau

No comments: