Monday, February 07, 2022

Jangan Sampai Salah Langkah Memulai Hari


Dua jam setiap hari kata Gerben. Terdengar mudah, terutama jika mengingat sehari ada 24 jam lamanya. Ataupun jika dikurangi waktu tidur malam, masih ada 16 jam. Namun bagaimana jika bangun tidur terasa kurang segar dan agak sakit di tengkuk kanan menjalar ke samping kepala sebelah kanan. Bagaimana kalau kemudian badan terasa meriang dingin, padahal sudah makan nasi kuning lengkap dengan sejumput mie goreng, orek tempe, masih dengan tahu pedas dan telur semur. Terlebih sudah minum sekira 300 ml teh Prenjak bersimbah jahe merah campur putih.

Alinea di atas sudah berumur lebih dari 24 jam, setelah makan siang seporsi nasi gudeg telor lengkap dengan soto ayam beserta cemilan dakak-dakak dan snek micin bogalaut Korea; lantas makan malam mie goreng ayam; makan pagi nasi warteg Syifa dengan teri kacang, tahu jamur tiram, dan telur ceplok; sampai makan siang lagi dengan Sarimi goreng ayam kecap berteman tiga butir bakso diiris tipis-tipis. Kebanyakan makan itu relatif, yang jelas aku tidak ada gerak badannya. Perut selalu kembung kurasa lebih karena itu. Gerak badan ketika rasa badan begini aduhai...

Aku bahkan tidak mau membahas, apalagi sampai mengabadikan. Sekadar menyindir pun tak. Biarlah harum gaharu membawanya pergi jauh melayang entah ke mana, mengharumkan yang busuk. Abu gaharu luruh membuat bara lebih benderang sejenak. Tidak bisa lain inilah caraNya menyelamatkanku. Aku si pengecut atau apapun yang jauh lebih buruk lagi dari itu. Jelasnya, aku pecundang. Biarlah aku begini di kehidupanku yang ini, asal jangan di kehidupan abadi. Jez halus dari sebuah kamar sewaan yang nyaman di New York, di sudut mata kananku banjir cahaya.

Jika gaharu ini habis terbakar, sudah menunggu Sang Maharaja. Ia akan bertahta menguarkan keharuman ke seantero pedalaman hati. Jelas ia tidak di hati, betul-betul di permukaan kulit belaka. Seperti ketika aku masih kuat menyongklang Parioh Sty di sepanjang Pejaten Utara lanjut Kemang Selatan, ketika di pengkolan itu masih ada Lawson; bahkan lebih muda lagi dari itu. Ini semua sekadar masalah kemudaan. Jelas bukan masalahku, karena aku tidak muda lagi; dan bukan itu yang kuinginkan. Apokalipso adalah keniscayaan 57 tahun lagi menurut peredaran bulan.

Keindahan itu menjalar-jalar pada lantai hutan, pada sampah ranting dedaunan, pada akar-akar. Dapat kubayangkan betapa harumnya keindahan itu, kusesap, kucecap perlahan-lahan. Memabukkan. Memuakkan, namun memabukkan. Kesederhanaan itu justru yang membuatnya tertahankan. Khayalan mengenai segala dewi dan bidadari justru membuat jengah, apatah lagi sekadar ratu dunia. Aku merayapi melata-lata, sedang garengpung semakin cepat menggosokkan kedua sayapnya, mengeluarkan bunyi berdenging yang kadang mendengking.

Teringatnya, jam 11.00 tadi aku membuka Semester Genap 2022 dengan dongengan standar mengenai Pasal 33.3 UUD 1945. Masya Allah sudah berapa tahun aku melakukannya, aku kakak pendongeng. Kalau tidak mau lama-lama, segera selesaikan disertasimu, maka kau akan menjadi... bukan, bukan peneliti, melainkan penjawab Adzan. Eh, biarkan orang-orang yang merasa keren itu bicara sesuka mereka. Pertama, dalam hati mereka siapa tahu. Kedua, aku hanya ingin menemuinya kelak dalam hidup sejati, dan itu sungguh-sungguh teramat sangat layak diinginkan.

Oyentina tertidur nyenyak di kursi jati. Aku mencoba untuk tidak sampai membangunkannya, namun tak ayal ia bangun juga. Mungkin aku tidak akan betah juga jika tinggal di toko tembikar, namun di kuil kurasa aku bisa betah, atau tidak. Selama kuil itu ada orangnya, mungkin rasanya sebelas duabelas dengan Mushala HAN. Ini semua tidak akan lama. Kau hanya harus menunggu. Semoga dalam penantianmu, dan ketika datang waktunya kelak, Allah berbelas-kasihan padamu. Jika sudah begini, apalagi yang akan kutuliskan dalam goblog ini. Kegoblogan tanpa batas.

No comments: