Monday, February 14, 2022

Selamat Hari Memang Tidak Ada yang Sayang


Setahun lalu aku termangu memandang adegan interrasial di hadapanku. Meski bertemu di tempat cuci, tiada pula yang terjadi, seperti jika bertemu di mana pun. Hei, aku sedang berusaha menyelesaikan. Akankah mengitiki begini berdampak buruk, meski diiringi waltz kaisar. 'Tuh belum-belum sudah kusut hubungan sebab-akibat atau apapun. Ini semata karena sudah terlalu malam aku belum bisa tidur. Agak lama tidurku tadi siang, sekitar dua jam. Habis makan siang 'kupikir akan segar, malah tertunduk tertidur. Beginilah di sisa malam kasih-sayang ini...

Aku belum bisa tidur, padahal ini sudah tengah malam. Sudah semingguan ini aku menghuni kandang kambing. Sebelum ini aku makan fuyunghai berteman capcay, seperti malam kemarin begitu saja memesan spaghetti gara-gara Cantik. Untuknya fetuccini, untuk anak perempuan choco puff. Perut sudah gendut begini, berat sudah lebih sekwintal. 'Kubiarkan angan menyusuri kandang sepeda di bawah Sepurderek, di mana berhari-hari aku melaluinya sambil menyeret kaki. Ketika itu masih ada Van Moof putih, sebelum dibeli Zulfaqor, tepat sekitar setahunan lalu.

Begitu saja aku mengelus-elus leher penuh berkutil. Semoga ini tahun macan Cisewu, yakni yang ramah, meski tetap macan. Setua ini sudah tidak sanggup aku, jadi seperti Jabba the Hut aku menyeret-nyeret perut kian kemari. Tidak pula seperti Don Masseria si Babi Gendut, aku tidak suka kucing kecil. Maka Onti 'kuusir-usir agar jangan sampai mengeluarkan kucing-kucing kecil dekat-dekat sini. Aku tetap seperti diriku ketika memilih Joshua dulu, memurnikan. Aku juga tetap seperti diriku ketika tidak tahan melihat ranumnya buah-buahan menggantung.

Mau Danube, Amstel, atau Meuse, semua mengalun mengalir. Di suatu hari yang dingin sampai ke tepinya Meuse, sama seperti tepi Cikumpa. Keberlaluannya. Keterlaluannya. Samakah ini dengan malam-malam di kontrakannya Pak Musa, ketika durian bergedebug. Sewaktu-waktu, jadi bersabarlah. Akankah suatu hari nanti aku merasa rugi membayar republikku tiap bulan. Akankah suatu hari nanti aku merasa rugi membayar apapun, termasuk biaya kontrol ke dokter Kamto tiap bulan. Tiada 'kan lama lagi, seperti gang sempit di belakang rumah Tommy.

Aku yakin ke depannya akan ada petualangan lagi. Hidupku akan bergairah lagi. Suatu gairah yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Suatu petualangan yang mungkin menjadi tiketku untuk pulang. Tidak mungkin begini-begini saja dan begini-begini terus. Tentu saja tidak seperti yang dibayangkan Sopuyan. Seperti yang dibayangkan Takwa, entahlah. Gairah berpetualang itu benar-benar terasa seperti memanggil-manggil, meski aku bukan petualang. Aku mahluk khayal yang tidak bisa main sulapan. Aku lebih suka mengurung diri di gua, meski terkadang aku keluar juga.

Akankah ada gerobak goyang atau semacamnya dalam petualangan itu, aku tidak tahu. Aku bukan penetap. Aku datang, melayang dari angkasa, menyembur-nyemburkan api, pulang. Aku seperti leak yang sering menempel di dinding teras orang jaman dulu kala, menakut-nakuti anak kecil. Swargi Bapak membelikanku Anggada, sedang Adik Anoman. Apapun itu, akan 'kuporak-porandakan Alengka, keangkara-murkaannya. Aku bersenjata gada. Biarlah orang menertawai, aku tertawa nanti. "Kutunggangi gerobak goyang 'nuju matahari terbenam sambil bernyanyi.

Hanya pulang dambaku kini. Masih banyak yang harus 'kulakukan sebelum pulang, yang berkisar pada mercu suar. Akan 'kukatakan: "Semua yang telah 'kulakukan adalah untuk Bapak dan Ibu." Semoga Sang Hyang Wenang berkenan. Akankah, sebelum pulang, seperti swargi Bapak dan Mama, aku dikaruniai malam-malam penuh tahajud, subuh yang selalu tepat waktu. Kedamaian seorang lelaki usia senja, berkoko bersarung berpeci, melangkah takzim menuju mesjid bahkan sebelum dipanggil. Sehari lima kali. Badan ringan tidak berat lagi. Malu. Budak masa gemuk.

No comments: