Friday, August 13, 2021

Tanda Tanya, Terima Kasih. Sudah Sana Pergi!


Susu kedelai bijirin-jamak dicampur dengan ekstrak jahe merah berkepala gula bersusu skim memang aduhai manisnya, terlebih ketika lelaki menjadikan dirinya jembatan di atas air bergolak bagi dunia. Di Jumat pagi bermendung ini, badan berkeringat karena minuman hangat, dan belum 'kuputuskan muslihat apa yang 'kan 'kugunakan untuk membingkai kata-kata. Sungguh cara biasa itu memuakkan, bagai melodrama yang sudah tertebak alurnya. Meski lebih menggelikan lagi bisikan sembrono seorang terapis lanang di telinga calon guru besar: "Selamat beristirahat."


Tidak pula akan 'kubiarkan entri ini dikhususkan bagi Raden Loetan Adisastra yang malah membadut memutar-mutar pinggul dan pantatnya seperti baling-baling, sehingga begitulah ia dinamakan oleh Paidjo: Baling-baling. Terkadang kita tidak tahu kisah apa yang 'kan merundung benak. Kisah ini menjengkelkan, dan aku, seperti biasa, tidak pernah memilihnya. Siapa benar yang memilihnya, apakah ruang makan kumuh sederhana di antara kamar tidur dan dapur yang tak kalah kumuhnya, di mana pernah 'kuhasilkan suatu risalah (halah!) mengenai partai buruh.

Takkan pula 'kubiarkan entri ini mengenai kisah-kisah tolol apa yang merundungku, membentukku. Lantas kalau bukan itu, ini entri mengenai apa. Ini yang jelas bukan entri mengenai senandung saksofon yang mengilhami masa mudaku. Ini bukan pula entri mengenai kisah-kisah cinta. Begitu saja aku tertumbuk, terantuk pada kenangan-kenangan yang menerangi sudut-sudut kesadaranku. Apakah ini pavilyun ketika sudah dirombak Rifa Jidat, sehingga pintu masuknya sebesar pintu lemari. Kenangan kini tidak lagi nyaman, justru mengerikan. Selalu 'kuhindari.

Jika demikian, lantas apa guna goblog ini, ketika ia merekam kenangan-kenangan. Akankah waktu menyembuhkan, seakan aku yakin entah kapan dalam waktu dekat ini tiba-tiba saja jebol itu bendungan. Aduhai, haruskah 'kusudahi, atau 'kutunggu saja waktu menyembuhkan, seperti begitu saja aku entah bagaimana menyandinya. Jika sedang tidak kreatif begini jangan dipaksakan menulis entri. Begini jadinya. Lantas bagaimana, kreatifitasku asalnya dari kenangan-kenangan, sedang kini aku tidak berani mengenang melampaui api, melampaui batas. Betapatah 'ku takut.


Nyatanya bendungan memang jebol, dan aku belum berhasil menenagai kreatifitasku dengan selain kenangan-kenangan. "Apa yang tidak membunuhmu hanya membuatmu lebih kuat" sesungguhnya berpumpun pada siap-siap terbunuh, atau ini masalah setengah isi atau setengah kosong. Mungkin selama ini aku berpumpun pada "membuatmu lebih kuat" untuk terus maju menjalani hari-hari. Mungkin itu yang benar, bahkan Gitar Gutawar pun sudah menghentikan nyanyiannya, entah apa yang dilakukannya sekarang. Aku tidak bisa berhenti dari menulis entri.

Aku masih gagal move on dari SupraFit, atau itukah caraku untuk terus maju, mengenang-ngenang betapa aku menyintas hari-hari yang telah lalu, terutama yang tidak terlalu menyenangkan. Apa yang 'kuingat dari masa itu, tempelan Deseptikon yang entah kemana sekarang. Hahaha apa menariknya bagi lelaki empat puluh lima tahunan. Jika Rancid Raditya merasa dia lebih Autobot daripada Deseptikon, aku bahkan tidak tahu atau tidak ingat dia itu Autobot atau Deseptikon. Kesenian menulis dan mengaransir lagu sampai menjadi sedap memang dari dulu selalu begitu.

Ternyata sampai hari ini aku masih diharu-biru Primadona. Tentu bukan Siti Kedjora apalagi Rama Oembara. Raden Loetan Adisastra a.k.a Baling-baling. Hahaha Nano membuatnya menjadi semacam Charlie Chaplin namun heroik. Aku jadi penasaran bagaimana Prijo S. Winardi memainkannya, meski tak ayal terlintas pula di benakku, seperti yang terpikir oleh Cak Tarno: Apakah teater, seperti halnya buku, tidak jaman lagi? Kini di jaman Netflix dan Mola? Hei, tanda tanya, ke mana saja kau selama ini, mengapa tiba-tiba muncul? Terima kasih. Sudah sana pergi!

No comments: