Sunday, August 29, 2021

Minggu Pagi Bermendung, Mereguk Air Susumo


Judulnya kurang yes. Entah akan 'kubiarkan ia begitu atau nanti akan 'kuganti, aku tak tahu. Nyatanya aku memang sedang meneguk-neguk air susumo berkrim penuh bersimbah jahe merah dan kepala gula. Alhamdulillah pagi ini terasa nikmat, karena ada waktu-waktu ketika ia terasa terlalu manis. Pagi ini, gurih-gurih manis kehangatannya. Pada titik ini aku berhenti dulu, entah akan 'kubilas cangkir Nescafe ini, atau 'kuisi-ulang dengan air panas, belum 'kuputuskan, ketika anak Entis Sutisna menang banyak, kali ini dengan Ziva Magnolya. Rejeki orang siapa tahu.


Kini aku tidak ingin lagi memaknai kehidupan. Bukannya sudah lama kau begitu, menolak memaknai apapun. Betul juga, tapi khususnya pagi ini, aku keras menolak memaknai kehidupan. Bahkan Minggu pagi bermendung ini, biarkan begitu saja. Adakah orang-orang Batak penyembah Yesus mengenakan pakaian terbaiknya, pergi ke gereja-gereja mereka, atau entah siapa nongkrong di warung bubur ayam Cianjur, boleh-boleh saja. Bahkan sekarang bukan masalah berapa banyak Minggu pagi bermendung yang telah dan akan 'kulalui, sekadar susumo su sumo!

Terlebih ketika Andi Fajar tidak ingat padaku, aku hanya bisa mengadukannya pada Rachmat Susanto. Ini 'kulakukan setelah air susumo meng-KO-ku. Itu baru airnya belum susumonya sendiri. Maka demikianlah pagi bermendung telah beranjak menjadi siang bermendung. Tidak lapar benar, namun 'kuputuskan untuk menghabisi sampah kulkas. Belum habis benar, tapi lumayan berkurang. Membuang sampah kulkas ke dalam perut bukan kebiasaan baik, meski kulkas di sini lebih baiklah dari pada kulkasnya Hadi. Mungkin gara-gara Lyodra jadi teringat padanya.

Jangan sampai lupa. Raiq, sepupunya, dan Kay tadi pagi berusaha menghantam Kerbau Melirik dengan bola basket. "Siapa yang berhasil mengenainya, menang," tegas Raiq. Aku tidak menyimak apa jadinya Sang Kerbau, namun menjelang lohor tadi sempat 'kuintai. Kerbau masih tetap Melirik seperti biasa. Berarti mungkin memang ada yang berhasil mengenainya dan menang. Meski tidak sebanyak Kak Iki, yang mengenai Marion Jola lantas Ziva Magnolya. Itu cuma dua yang 'kutahu. Lainnya pasti ada lagi. Ah, bentuk seperti Robot memang tidak perlu disedihkan... 

Sementara Georgy memaki-maki orang pajak, Porgy menangisi orang-orang kesepian. Siapakah mereka, para penghuni biara. Ah, jangankan biara. Coba kauhuni kepalamu sendiri. Ya, di dalam kepalamu sendiri. Sepi 'kan. Menakutkan tidak? Riuh tapi sepi, rendah tapi senyap. Rama MacKenzie menulis kotbah yang tiada seorang pun ingin mendengarnya. Ah, memikirkannya saja sudah membuatku orgasme. Penghinaan itu. Sedang susah-payah Rama MacKenzie mengerahkan semua cipta, rasa, dan karsanya, memilih kata agar indah itu gaya bahasa. Semua sia-sia.

Sedang aku sudah shalat ashar, cuaca tidak banyak berubah dari sepagian ini. Aku tahu kalimat itu tidak benar, namun siapa peduli. Malah rasanya seperti kemasukan. Sulit sekali membuatku terjaga, pelupuk mata terus saja terpejam. Maka sebelum ashar tadi kukepret sedikit gandapura ke telapak tanganku, kuusap-usap tengkukku hatta shalat. Masya Allahu Ahad, panas tengkukku terbakar! Namun cukup membuatku agak segar, meski anganku melayang ke jalan-jalan Maastricht ketika cuacanya tak ubahnya kini. Aku tetap lebih suka Cikumpa. Bersama Cantik di sini saja.

Rasa hina, nista ini terus menemani. Ia menetap tinggal tak mau pergi, meski suara deburan air laut seperti memukul lambung atau dermaga atau apa. Dingin jangan, panas juga jangan. Secukupnya saja agar otak dan jantungku berdenyut nyaman. Bisaku hanya menulis, entah apa yang akan 'kutulis. Mencari uang dengan cara menulis itu sinis. Menertawakan diri sendiri itu sarkas. Kapal selam kalau sudah kuning keemasan berarti memang sudah matang. Siap ditiriskan, dipotong-potong agar terlihat kuning telurnya. Disiram cuka, diberi mie kuning, timun, pula taburan ebi.

No comments: