Thursday, August 05, 2021

Haruskah 'Kuteteskan Air Mana di Pipit dududu


Hahaha mau di kubikel penampungan sementara pengungsi korban rezim, flexkammer, atau di depan tempat ular ganti kulit, sama saja kelakuannya: Menulisi. Mengetiki. Aku sudah jelas bukan Hoot yang sok-sok'an bilang "Ini Senin, berarti sudah minggu yang baru." Jangankan minggu, sekarang bulan yang baru, dan seperti kata Tante Lien tadi ketika sarapan nasi kuning: "tinggal dua bulan lagi." Aku tidak sedang mempersenjatai-ulang diriku dengan perabotan khas infanteri ringan, meski semalam 'kutonton juga liputan mengenai tim aerobatik Jupiter.


Itu dari tiga hari yang lalu. Kini selepas jam dua siang dan hujan masih rintik menderas sejak lohor tadi, sedang prakiraan mengatakan agak berawan (sic!). Entah dari mana idenya, aku akhirnya membeli daring Primadona, Sebuah Roman, bahkan masih dapat katalog pementasan Opera Primadona asli dari 1988. Masya Allah, masih ada iklan Suara Irama Indah. Makin lama aku akan semakin tidak relevan bahkan bagi anak-anakku sendiri. Benar-benar terpulang pada mereka mau mempedulikanku atau tidak, aku tak tahu bagaimana mendidik mereka.

Semakin lama semakin terasa fana dunia, sefana baterai Asus VivoBook yang bahkan tidak sampai dua tahun. Semakin terasa betapa dalam permainan ini kita harus benar-benar cerdik dan jangan sampai dilenakan oleh apapun. Seperti goblog ini, aku hanya menunggu sampai kapan kebuntuan ini melanda. Tidak ada yang bisa memaksa Alexeyev Petrovsky untuk menulis jika ia sedang buntet buntu. Yang ia butuhkan adalah seorang Siti Kedjora yang berlarian mengejar capung dan kupu di padang rumput di selatan Surabaya. Ah, sialan khayalan Si Nano ini. Mencekam.

Seperti ketika anak-anak manis itu dengan semangat menyajikan hasil penelitian mereka, seperti itulah aku ber-lalala sambil menari-nari berkitar-kitar di sekeliling melati di atas bukit. Benar-benar anjir penokohan Petro oleh Nano. Apakah itu Nano sendiri, atau sebenarnya aku yang menyama-nyamakan diri dengannya. Terkadang aku ingin tahu apa benar yang mendorong Profesor Andri menjalani hidupnya, atau Sopuyan mengejar kegurubesaran. Hei, aku mengejar Kemacangondrongan dan tidak dapat! "Salah sendiri begituan dikejar."

Di sini aku merasa, yang jelas tidak hari ini. Bahkan aku tidak yakin esok. Tidak boleh begitu. Ini sudah kemajuan. Mengetiki meski entri, meski badan lengket dan bau. Memang ini siang berhujan yang aduhai manisnya, semanis suara Rita Effendi. Kalau Basuki Effendi entah apanya yang manis. 'Kurasa akan terus seperti ini saja. Tiada yang 'kan sia-sia, kecuali memang sengaja kau sia-siakan. Segala sesuatu sekadar perintang waktu, maka jangan itu pula yang kau kenang-kenang. Maju terus! Pandang mata lurus ke depan, dengarkan aba-aba! Lihatlah kami, taruna Akabri Laut!

Aku yang sok nyeni ini, lantas bagaimana. Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Sedang Bang Ben Sang Maestro saja masih minta duit bakal beli cendol sama enyaknya, aku seenaknya mengorek-ngorek upil dari lubang kiri hidungku. Apalagi Bang Raden Haji Oma Sang Raja Dangdut. Kemasyhuran jangan sampai kau inginkan. Bila sampai dikaruniakan, banyak-banyaklah istighfar. Ini jelas omongan kodok budug sok tau. Sudah nikmati saja kesenian yang digubah Bang Ben dan Bang Haji di antara waktu-waktu sholat. Ketika datang, maka bersegeralah. Itu sudah.

Apa yang dipikirkan Paul Tibbet ketika menamai B-29nya Enola Gay, nama ibunya. Inilah hari-hari itu, yang kesannya seperti penanda-penanda penting. Padahal tidak ada yang penting kecuali hari yang itu, yang entah bagaimana caraku mempersiapkannya. Apa gunanya aku tahu nama ibunya Paul Tibbet, bahkan Paul Tibbetnya sekali. Terserahlah mau Petro atau Rama Oembara, bahkah Loetan Adisastra sekalipun, semua musnah tak berguna. Ahai hohohoi, masa beginian yang 'kan 'kutinggalkan buat 'ponakanku Ega Windratno, sedang sekarang saja tiada yang laik sukreb.

No comments: