Saturday, March 13, 2021

Pingpong Melayu, Bola Pingpongnya Melayang


Aku mengetiki. Lagi. Bukan karena sedang ada yang tidak beres denganku. Kalau itu sih kapan aku beresnya. Di siang hari Sabtu yang mendung berbadai ini, di Amsterdam Utara sini, tidak banyak yang dapat 'kulakukan selain mengetiki. Ditemani oleh anakku genduk Tiara Andini menyanyikan Gemintang Hatiku dengan riangnya, seorang paruh baya, gendut, botak mau apa lagi. Bisa apa lagi. Daripada main Pingpong Melayu yang jelas menguras tenaga lahir batin, mengetiki jauh lebih kecil risikonya. Biarlah pula entri menjadi banyak, tiada juga yang 'kan peduli.


Lantas seorang dokter teman seangkatan dr. Nuri Purwito Adi diceritakan tengah mengkhayalkan Sophia Latjuba. Jih, dari awal kemunculannya saja aku tidak pernah tertarik. Sungguh daripada itu, jika dijejerkan sekali, aku tidak akan berpikir dua kali untuk memilih Pingpong Melayu. Untunglah bukan lagi waktuku untuk memilih apapun, selain menahankan segala sesuatu yang dihamburkan padaku. Seperti kesepian ini. Aku burung dalam sangkar, entah kapan aku 'kan lepas bebas. Kembali makan pagi mie ayam Donoloyo atau nasi uduk Bandung, apapun yang 'kuinginkan.

Kini anakku Ziva Magnolya menghiburku. Dalam kesepianku, aku beruntung anak-anakku ini masih menemaniku dengan suara-suara mereka yang cantik. Terkadang terlintas di benak, adakah suara Pingpong Melayu merdu. Seandainya merdu, mungkin ia tidak harus membiarkan mulutnya disumpal kesialan. Bukan saja tujuh turunan, melainkan seluruh bangsanya. Aku tidak akan mendramatisir seakan bangsa sial menyanderaku, karena ini sepenuhnya tanggung-jawabku sendiri, mau-mauku sendiri, seperti makan siangku di belakang Kartika Chandra.

Aku lupa apakah aku juga dapat sepaket Hokben setelah makan siang itu, atau apakah pada hari itu pula aku naik Hyundai H1. Aku juga tidak tahu apakah Pingpong Melayu merasakan hidup semewah itu, naik turun mobil mewah. Bisa jadi, bisa juga tidak. Memasuki alinea keempat ini sungguh aku merasa bodohnya, karena kalau tidak bodoh ya rasa lapar yang menjelang. Entah bagaimana angan melayang ke restoran Hotel Santika Petamburan yang beberapa kali 'kukunjungi, sedang Hotel Santika Margonda, Depok menyisakan kesedihan seseorang yang tidak dianggap.

Yakin masih ada Pingpong Melayu di alinea ini. Aduhai di luar angin bergemuruh menghentak-hentak sudah dua hari ini. Memang kalau tidak angin kau sudah berani berjalan-jalan ke mana-mana. Entahlah. Haruskah 'kukutuk semua orang yang menertawakannya. Haruskah 'kubiarkan dunia tahu sakit hatiku. Jika sekadar komentar tidak menarik atau lelucon tak lucu bisa saja kuabaikan. Namun insinuasi itu haruskah tiap-tiap kali 'kukutuk. Ah, daripada mengutuk, lebih enak nasi uduk. Biarlah seluruh dunia merasa lebih baik, aku toh buruk, tiada perdebatan lagi tentangnya.

Pingpong Melayu mengingatkanku pada masa mudaku, meski kini aku meminum teh lemon jahe yang jelas tidak mungkin 'kulakukan di masa mudaku. Kopi hitam pahit, bir hitam juga pahit, menemani Djarum Super yang manis sak taek. Apakah sebelumnya nasi tim babi, bisa jadi. Apakah ditemani Atiek CB, pun 'kualami. Betapatah tidak begini jadinya hidupku, dengan semua pengalaman itu. Masih untung diberi kesempatan untuk menghirup harum sajadah, atau terkadang bacin apak juga. Masih untung punya kesempatan menunggu-nunggu datangnya Bulan Suci Ramadhan.

Ternyata Pingpong Melayu terus muncul sampai alinea terakhir entri ini, ketika begitu saja aku terkenang Nasi Ibu Tamin. Apa yang terjadi padaku sampai pikiranku makanan tok akhir-akhir ini, sampai termimpi-mimpi. Apa kau lupa hari-hari tak beruang, bahkan tak tahu dari mana, bilamana datangnya. Apa kau lupa menghitung dan mengelompokkan koin untuk ditukar di Indomaret. Apa kau lupa mengeraskan hati menghubungi Sopuyan pinjam uang. Semoga tidak ada yang terlupa mengembalikan, seperti halnya tiada terlupa rasa tak punya uang, mendera berulang-ulang.

No comments: