Tuesday, March 09, 2021

Kiska, Lari Susu, dan Lari Kering. Pemulung


Masa-masa yang... masa membuka entri dengan masa-masa. Jika aku belum mengetik apa yang harus kuketik, aku tidak mau menggunakan daftar-mainku yang standar. Dan aku, memulai kalimat dengan "dan", sudah seperti tukang patri di Jalan Ampera, yang terpincang-pincang namun masih terus mengecrek kecrekannya. Seperti berpuluh-tahun telah dilakukan semua tukang patri untuk memberi tahu calon pelanggan mengenai keberadaannya. Seperti tukang patri, aku tidak tahu apakah masih ada lubang panci yang harus ditambal, masih dari panci berlubang.

 
Adakah yang begitu indah, seperti menulis entri di pagi hari Senin. Sedang pakaian belum ganti mungkin sudah seminggu lebih, sedang kemarin atau bahkan kemarinnya dulu belum mandi-mandi. Secangkir susu kedelai dikotori aroma kopi, setelah semug besar teh putih beraroma jeruk dan jahe mungkin. Ketika kunyahan anjing dan lolongan anjing sudah tidak ada bedanya. Ketika kenistaan diulang-ulang sejak lepas balita, yang 'kudapati adalah perasaan kebelet berak di Amsterdam. Syukurnya sedang lokdon dan kurfiu diperpanjang. Jadi saat-saat terakhir pun tak mengapa.

Mingkinan lama mingkinan jijiq saja, namun 'kan 'kukenang selalu. Akan terbaca olehku suatu saat nanti kelak di kemudian hari, masa-masa ketika seringnya padat dan cantik. Jarang, hampir tidak pernah benjret. Kesepianku, sedang aku sekadar mendemagogi diri sendiri. Mana ada kata kerja begitu. Apa peduliku kalau yang peduli hanya aku dan kenistaanku. Selalu 'kulakukan jika aku sedang ingin bersenang-senang, atau merasa nista. Biar 'kutambah pada judul, atau jangan. Biar 'kutelan sendiri saja, nanti pun akan lewat dengan sendirinya, benjret atau padat dan cantik.

Lebih daripada diberaki, aku lebih tidak suka memberaki. Aku tidak peduli kalau lubang mulutku jamban atau bukan, tetapi lubang mulut orang lain sedapat mungkin bukan jamban. Lebih daripada disakiti, aku lebih tidak suka menyakiti. Aku tidak peduli jika harus hancur luluh, tetapi orang lain sedapat mungkin jangan. Kecoak sialan itu mendapati hidup yang lebih puitis dariku, aku tidak suka. Meski lebih tidak suka lagi aku, mengapa harus lebih puitis hidupku dari orang lain. Biarkan 'kubersanjak tentang ketiak penuh berambut seorang pelacur tua, tepat pada ketiaknya sekali.

Akhirnya kata itu yang 'kugunakan untuk mengindikasikan pada judul, bukan cahaya mata. Mengapa, berjalan di pinggir rel dari Barel FH sampai Pondok Cina, terbirit-birit ke Masjid UI bahkan sebelum subuh. Mengapa, berak di lantai tiga atau empat Gedung C FHUI seraya menahan sakit. Jangankan aku, tidak ada yang menginginkan anak pemulung. Apa yang 'kupulung, sekadar upil dipulung-pulung. Aku pun pernah terpincang-pincang berhari-hari setelah berak itu. Sembuh juga. Anakku anak pemulung itu lebih edan lagi. Takut sama om-om, ceunah. Telek benjret!

Astaga, kau jelek meski tidak sampai sekali. Namun justru karena itu ada kedut-berkedut. 'Kuakui, aku belum pernah benar-benar mencoba yang padat dan cantik, seperti yang dikatakan orang-orang itu. Rata-rata yang 'kucicipi mendekati benjret, ya, seperti kecepret begitu. Aku masih ingat, di masa mudaku, aku merayap-rayap mencoba meraba, menjilat telor ceplok. Dan dia memaafkanku, telor ceplok itu, bahkan sayur labu santan putih sekali. Entah sudah berapa telor ceplok 'kulahap, 'kukeremus dalam hidupku. Masih mau lagi, itu goblok namanya, digoreng air atau minyak.

Seperti itu kelakuanmu dan kau mengharap kehadiran seorang anak. Baek-baek jadi Mas Guruh 'ntar. Amit-amit. Tersenyum saja sulit, apalagi sampai tertawa terbahak-bahak, karena memang sudah bukan masanya. Kasir, kadal, kaplok, kampret masih bisa memaksa sesungging. Selebihnya pasti gagal. Kalaupun sampai tersungging, pasti penuh arti. Bagaimana mungkin Tunggul Ametung memerawani Ken Dedes jika bukan gara-gara relasi kuasa. Aduh, jangan dulu. Itu untuk kalau benar-benar menulis. Jangan untuk berolok-olok. Entahlah. Seperti biasa, aku tak pernah tahu.

No comments: