Tuesday, March 02, 2021

Ninabobonya Negeri Burung Belum Berakhir


Kemarin sore setelah bimbingan, seperti biasa aku gundah durjana. Di gedung tiada sesiapa. Mungkin ada Jeng Arum, tapi sudah gila apa. Tiada lama setelah selesai bimbingan, waktu maghrib tiba. Shalat dulu, langsung berpakaian dingin dan menyongklang vanmoof putih. 'Kulihat di dermaga masih agak sebelas menitan sebelum feri dari tapsiun sentral datang, maka berkeliling dulu aku di lapangan NDSM. Dari tepi air dapat 'kulihat feri melaju dengan kecepatan penuh mendekat. Segera 'kupacu (halah!) vanmoof putih ke dermaga. Tepat sekali. Feri merapat, aku juga merapat.

Tanpa kuduga Gerardus dan Gregorius justru berjalan ke arahku. Namun seorang operator berpengalaman sepertiku tidak akan mudah terbongkar. Maka lewatlah mereka di depan hidungku tanpa prasangka, sampai ketika 'kubentak mereka terperanjat. Berlalulah kami ke Albert Heijn. Masalahnya rantai vanmoof putih belum ada kuncinya, jadi tidak berani 'kutinggal masuk. Itulah kurasa waktunya, ketika menemani vanmoof putih, aku ingat menggosok-gosok lengan atasku tanda-tanda kemasukan. Jojon benar. Dewi Sinta suka masuknya lewat ketiak atau sekitarannya.

Gregorius ternyata sedang semangat menulis. Maka setelah menyiapkan pecel ayam pedas masih dengan sate ayam tak bertusuknya, ditambah semug lemon jahe hangat yang membuatku sulit mengunci pintu, aku menyatroni Gerardus yang ternyata sedang membuat bihun. [Asaptaga, kalimatku seperti disertasi hahaha] Gerardus mengubah tata-letak studionya, dengan tambahan beberapa perabotan baru. Ia seperti membuat semacam "sudut ngencuk," 'ngakunya kata Yudha, dekat jendela. Aku duduk di situ, sedang Gerardus menyiapkan bihun goreng.

Begitulah jika dengan Gerardus, aku menjadi semacam pengamat musik ala-ala. Nampaknya itu topik yang nyaman baginya jika denganku. Ada orang yang bisa memaksakan topik-topik yang disukainya pada orang lain, antara lain Gerardus itu. Aku tidak. Aku jadi ingat Kolonel Henggrho. Ia pernah bilang begitu juga, seraya membandingkanku dengan IGMA Gatot Suprapto. Dengan ini mungkin berakhir laporan pandangan mataku, kembali pada pandangan mata batinku [halah!]. Intinya, aku terbangun keesokan subuhnya dengan perasaan seperti kemasukan. [Semoga tidak]

Bicara mengenai mata batin, [halahmadrid!] jika 'kupikir-pikir, Belanda ini koq ya adanya matryoshka, padahal 'kan harusnya di Rusia sana. Kali ini, urusanku dengan matryoshka sebatas meteran air saja, atau benarkah Bo 'naksir Kristina. [emang gua pikirken] Dulu ada juga kiludidu 'sih. Ah, rasa di lengan atas ini cukuplah sebagai penyaman, meski, seperti yang 'kukatakan pada Gerardus semalam, ini tidak akan berakhir sebelum berakhir. Maka jangan bicara, bahkan jangan sampai terlintas di kepala, mengenai keberakhiran. Jika subuh ini lengan atasku nyaman, ya sudah.

Barusan 'kuhangatkan lagi seduhan rempah-rempah Bengal, setelah satu pak snek beras dari Bang Noor akhirnya tandas. Maka ketika 'kusruput aduhsay agak menyengat, mana lagunya September begini. Yakin pada doa Bapak, sudah itu saja. Meski terasa seperti hinaan "Nabi Bono" itu, tapi Insya Allah aku berprasangka baik. Sudah tentu bukan itu yang dimaksud, hanya saja seperti yang 'kutulis sendiri, aku memang naif. Tidak apa-apa, aku suka dengan peran ini. Beberapa orang mungkin tidak akan percaya. Tugasku hanya memainkannya semeyakinkan mungkin.

Ba'da subuh ini, aku ditemani Ray Conniff dan orkestranya. Jangankan di sini, di manapun, kapanpun, teman selalu menjadi masalah bagiku. Seperti kata Ryan: "Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik." Jadi ingat Profesor Martani Huseini: "Jangan menyerah. Jangan menyerah. Jangan menyerah." Aku tidak akan berolok-olok mengenai apapun di titik ini, meski blog ini penuh berisinya, seperti halnya kepalaku. Setidaknya tidak pagi ini, yang kini sudah merekah membawa terangnya hari. Suatu hari baru penuh harapan.

No comments: