Sunday, April 14, 2019

Sepi Saupisau, To Kai Tokaito: To Mato Mato


Diancuk... eh, ini bukan makian. Ini panggilanku untuk blog ini, yang merupakan akronim dari Diari Pincuk, jadi semacam pecel pincuk begitu. Jadi begitulah, Diancuk, ah, masa harus kukomentari dulu, atau sekadar kuindikasikan. Cukuplah kucatat di sini bahwa aku memandang lurus ke estanatong agar mataku tidak plirak-plirik jelalatan ke mana-mana. Padahal aku belum shalat dhuhur. Padahal waktu dhuhur sudah masuk dari dua jam yang lalu, sedang perutku kembung berisi A Fung Phetshop masih ditambah tiga [ya, tiga!]  cabik tak-bertulang. Uwaw, atau nyaw.


Diancuk! [nah, ini makian] Aku jadi saban-saban memeriksa pratinjau lagi. Tidak! Aku berlindung kepadaNya dari yang seperti itu. Biarlah aku begini di sini tolol. Semoga aku tidak disiksa dalam kubur apalagi neraka gara-gara ini. Mungkin aku juga tidak bisa memberitahumu mengenainya. Estanotong nyatanya tidak bisa dipandang. Ke mana pun tidak bisa ditebar pandang. Mau segera ngacir ke mushala minum masih penuh, masih ada dua cabik pula. Satu berlumur, satu sedikit berminyak. Perut, kamu kenapa kembungan, sih. Lebih baik begitu, daripada perut paus.

'Tuh, ditambah "mati" ngeloncok, tidak ditambah rumpang. Kezel 'ga sih! Uwaw, ga nahaaan... Aku gendut botak tua begini memang seharusnya segera menghambur ke sajadah. Lalu apa yang kau terus lakukan di sini. Mengetiki. Mana tahu dalam setengah jam ke depan kembung berkurang. Ribet tauk harus membungkus-bungkus dua cabik dan krampulan es batu ini. Diancuk, sampai lupa. Aku 'tu tadi mau bilang, kalau dalam kurang dari duapuluh empat jam ini aku sudah dua kali dipermalukan, yakni, oleh Pendeta Agus Sutikno dan anaknya Wisnu Kamulyan. Aku menyesaaal...

Hei, Diancuk, mengapa engkau baru tiga paragraf. Memangnya paragrafmu bermakna, memangnya mengandung pokok pikiran, atau, seperti kata Septi Pesek, pokokmen. Hei, Pak Kaji Ibnu Fikri juga pokokmen. Uah, [nah, ini "uah" beneran, tidak sok imut seperti Bunga Edan] hidup macam apa itu. Menunggu M51 yang sekarang mungkin sudah tidak ada atau tidak sampai situ, apalagi Meent. Hidup seperti apa yang tengah dijalani oleh Bang Noor Haryono. Musik macam mana, yang sok cerdik, yang berceloteh dalam lubang telingaku. Hei, tak bertebar?!

Lantas, paragraf macam apa yang ber-hei-hei begitu, aku cinta padamu sampai matahari pagi. Jih! kalimat macam mana pulak! Ini tidak bisa. Bahkan sangat mungkin kutinggal saja aku tidak peduli. Aku ingin menghadap Tuhanku, mengadukan perihalku. Nyatanya, besok aku Insya Allah ke Jalan Radio. Nyata. Cantik sedang ke Kodamar, Insya Allah, merawat Mama dan Tante Lien yang baru jatuh. Nyata. Lantas, apa peduliku jika sudah dua kali "lantas", bahkan tiga, [Mana? lha itu barusan] hanya di paragraf ini saja?! Masbuloh ditebari tanda baca?!

Difilmkan dokumenter begitu memang dapat memukau, mengingatkanku pada etnografi visual yang disuruh ganti jadi fotografi. Bukan aku yang payah dalam bidang fotografi, melainkan fotografinya itu sendiri yang payah. Seperti rayap mati. Merasakanmu, aku peduli padamu, tidakkah kau tahu aku mencintaimu. Tokai! Ah, ashiaaap dengan tiga "a" oleh Fredi Merkuri, lengkapnya aku tak tega menuliskannya di sini. Aku tidak tahan lagi, namun sepertinya aku punya gagasan yang agak menarik. Tidak tahu bisa berhasil atau tidak. Akan kuberitahu sebentar ini. Kucoba!

[Engga, dia 'ngga sakit itu. Tampar.] Ini, paragraf terakhir ini, diterus-ketiki setelah lebih dari duabelas jam dari "Kucoba!" Aku... berhasil. [sambil menunduk, menekur] Plerktekuk... Ambyar! Akan halnya kuterus-ketiki, tiada lebih karena sederhananya gudeg yang 'ngakunya Malioboro, dengan krecek yang tidak lebih jelek dari bikinannya Mbak Lela dan Ade. [mana ada yang bisa lebih jelek lagi dari itu?] Tambahan lagi witte koffie, yang mirip dengan witte roos, akhirnya terbuka juga. Pasti bau. Pasti memuakkan. Orang tidak diapa-apakan saja menguar. [Satu kata: TOKAI]

No comments: