Wednesday, April 24, 2019

Ingin [Rasanya] 'Kuteriak [Woi!] ...Ambyar!


Jiah... sekarang 'udah Digigit Cinta. Mungkin ada kaitannya juga. Mengapa sampai merasa ingin teriak, tiada lain karena digigit cinta. Kena di situnya. Teriak: Woi!, terus ambyar. Serrr... Gitu. Kekurangan itu tidak banyak berarti jika pumpunan tetap di kekentuan. Memang demikian adanya, karena itu semua semata emosi. Adanya tidak semata di mata. Terutama di pendengaran dan juga mungkin penciuman. Pengecap paling asin-asin getir. Peraba 'ya gitu-gitu 'aja. Ini apa kembali saban-saban 'ngecek pratinjau atau sebodo amat. Ini latihan etnografi 'pala lu peyang.


Tiada lagi di dunia ini yang tersisa untuk memelukku. Tiada lagi di dunia ini yang tersisa untuk menciumku selamat malam. Apa bibir yang mecucu 'gitu. Apa memang cowok [sok] pemalu. Sudah lewat semua itu. Sudah berhari-hari aku ingin mengabadikan yang berkebat-kebit. Abadi. Kurasi. Ini entri tanpa tanda tanya. Jika pun ada tanda seru atau apostrof. Akhirnya kuganti daftar-main. Ini terasa seperti ruang flex, mana dingin-dingin begini. Dengan perut membuncit begini, kalimat-kalimatku di sini pendek-pendek. Seperti sok tegas begitu, dan aku belum periksa pratinjau.

Ternyata aku salah. Dingin-dingin begini bukan ruang flex atau bahkan Amsterdam sekali. Ini ternyata adalah dingin-dingin kemasukan. Apa perlu kuceritakan ketololan kemarin, yang mengakibatkan cabikan ayam, sup ayam, sundae cokelat dan ichik ochak. Apa perlu kuceritakan tentang empat batang oncom goreng lengkap dengan semangkuk mie ayam yang aduhai lezatnya di depan Pasar Kenari. Bahkan sebelumnya siomay Kantin Prima dan malamnya masih bubur stasiun lagi. Apa sudah semua. Bagaimana tidak menggelendut, akan kubaca sambil makan roti gandum.

Hitam itu hitam. Tidak kuteruskan ke arah situ, meski "semua nada seperti bercampur dan rasa-rasanya tidak pernah di stem sejak djoksut, tengkyu loh." Pengamatan jeli! Tahun lalu aku menulis nama-nama. Apakah pada sekitar waktu-waktu seperti ini. Apa tiba-tiba rindu Kees Broekmanstraat ketika harus bekerja begini. Kecuali sejuknya udara dan dengungan pembuang udara, memang ada terasa. Perempuan Guantanamo, perempuan Havana, yang mana saja. Tidak ada. Aku butuh badan enak pikiran enak. Aku harus buat laporan bulanan, malah begini.

Ini entri mengapa ditulis Rabu, apa pernah. Pasti pernahlah, sudah bertahun-tahun. Terlalu banyak yang dipikirkan, harus dikurangi. Kalau tidak bisa semua, paling tidak sisakan satu. Ke mana perginya kefasihan, kalimat yang efektif namun mengalir. Tidak ke mana-mana di sini, karena rasa itu pun tiada. Mau apa. Bisa apa. Terkadang terasa namun segera berlalu begitu saja. Ini bukan sekadar masalah hilangnya kebungahan, kegairahan. Ini mengenai cerah cuaca sekeluarnya dari terowongan sebelum Amstel apalagi Spaklerweg, ternyata benar aduhai antimenstrim.

Ini bukan lagi meracau. Ini terbata-bata. Ini bukan lagi persembunyian. Bahkan citraan dan ragaan mengerikan sampai menjijikkan sudah kehilangan sensasinya. Celine, haruskah aku memanggilmu begitu. Dapatkah kau memalingkanku dari antimenstrim, dari nada campur, dari mecucu. Antimenstrim itu yang susah, ketika yang bukan alis, yang tidak di kurva lengkung harus dicukur. Serta-merta aku teringat pada trio candesartan, amlodipine dan bisoprolol. Lantas empat tiga. Empat Tiga adalah lichting-ku di Akademi Angkatan Laut. Ada darah itu padaku.

Ya, aku memang Si Tolol Yang Biasa. Tidak biasanya aku tidak tolol. Aku biasanya tolol. Aku tidak biasanya duduk kedinginan, sedang setentangku ditinggal Papa mengurus STNK sampai ke Bojong Indah. [Aduh polisi.] Cairan. Rabaan. Melahap slai o'lai seraya menanyakan pendapatku mengenai situasi politik. Ini entri tiada berarti. Sebentar lagi toh aku harus berurusan dengan yang tiga itu. Itu kenyataanku. Seingsut demi seingsut, dari tiga ke tiga berikutnya. Aduh ini entri masih harus diilustrasi. Tidak mengapa asal terlihat rapi, seperti setrikaan Kadet AAL sekali.

No comments: