Thursday, April 11, 2019

Perempuan Menawan dari Arkadia [Dangdut Italia]


Akhirnya kupencet juga itu tombol entri baru, kuketik langsung di editor teks. Padahal ini malam Jumat yang aduhai panasnya. Tadi aku sudah sempat dilanda kantuk yang hebat. Apa yang berdenyut-denyut dalam anganku aku tidak suka. Aku tidak pernah suka yang seperti ini. Terkadang butuh, tapi suka, tidak. Demis Roussos menemaniku di malam Jumat yang gerah ini. Anganku tiba-tiba berkebat ke... ini apa cerita cabul?! Akankah entri seperti ini selesai, dengan pertanyaan-pertanyaan tak berdaya ini. Aku memang tidak berdaya, oh, aku yang tua.


Gendut. Botak. Tidak punya harkat apalagi martabat. Tidak lagi kesenangan. Semua terasa membebani. Apa aku ceritakan saja betapa berdesir seperti membuncah, mendesak. Astaga, begitu benar. Sudah tua. Apa benar yang mendorongnya, aku yang tidak bisa melihat masa depan ini. Untunglah aku diturunkan di dekat Masjid Jami' Matraman. Di depannya, sebuah baliho lumayan besar bergambarkan Habibana Rizieq Shihab, digambarkan seperti semacam pahlawan super begitu. Ah, orang-orang dengan kehidupan menyedihkan. Kalian membutuhkan pahlawan.

Kembali pada kecabulan tadi. Apa aku masih bisa menemukan kesenangan yang cukup berarti darinya, dengan mencabuli diri sendiri. Aduhai, hidupmu tidak pernah berhenti menyedihkan. Dari mana kau sampai dapat gagasan bahwa dirimu ganteng. Lantas ada pula kekerasan dalam rumah tangga terhadap anting-anting pom-pom. [mengapalah yang seperti ini lekat] Menjijikkan. Pasti menjijikkan, yang mana pun. Sedang ini, Suatu Hari, Suatu Tempat pernah begitu mengharu-biru, jelas itu karena remaja. Sekarang bagaimana. Apa yang harus kulakukan.

Jelaslah ini bukan kecabulan. Ini ketololan, seperti tololnya diriku. Apakah terkadang terbersit ketotolan, sedang menunggu lampu hijau bagi pejalan kaki. Pertama ke arah utara dari halte trem Jalan Laut Selatan, lantas ke timur. Ini kesepian, namun lebih terasa. Lebih banyak. Lebih banyak pilihan. Tidak dengan makanan, seraya memakan hidangan entah-entah tanpa adanya apapun yang cukup berharga untuk direkam. Apalagi diabadikan. Ini entri apa. Terasa denyut-denyutnya. Terasa suasana hatinya, sedang terbentang jalan di depan rumah Pak Jiman Tolo.

Di waktu malam seperti ini, mengapa tiba-tiba ke sini. Lantas Andi Magani Irawan, dia tidak lebih tua dariku namun sudah tahu Helga ada. Adiknya Si Ari Penjol masuk ke dalam daster ibunya yang sedang membungkus nasi uduk sambil memain-mainkan pantat ibunya. "Tai, tai, tai," katanya. Ah, ini mulai terasa. Aku bisa kembali ke sana tadi. Astaga mengapa sampai begitu benar. Cukup ingat kata kuncinya: Papagula. Selesai. Mengocoki, mencoloki, sambil menungging di lantai kamar mandi. Begini caraku melampiaskan. Aku tidak suka. Melodi cantik sudah tidak berdaya.

Musique! Dari dulu seperti ini saja. Si Keparat Sopuyan itu tidak ada gunanya kecuali memanfaatkanku belaka. Aku tukang rundung. Aku tidak bisa berpura-pura 'kan. Kepada siapa kau minta pembenaran. Semua saja nothing to lose. 'Gak ada yang tulus! Semua tidak lucu, termasuk bagian belakang Mess Pemuda di waktu malam setelah lewat jam sembilan. Patah-patah begini. Tidak mengalir. Ini parah. Untung tadi gangguan. Jika tidak mungkin sudah di Stipwong menunggu Istri. Akan halnya malah ke warteg memang tidak mungkin lagi berharap kesenangan darinya.

Malah mendapat kejengkelan. Aku ingin melarikan diri. Selesaikan kewajibanmu dan lanjutkanlah. Apa memandangi lagi kanal. Hanya ini yang bisa dipandangi. Lebih agak pasti. Aduhai apa yang akan menyenangkan hatiku, tidak ada. Ini entri benar-benar. Dipenuhi oleh kalimat-kalimat tidak selesai, patah di tengah-tengah. Biar aku aneh-aneh sedikit di sini, sebelum kututup entri ini. Jangan-jangan itu hanya caranya untuk mengalihkan buncahan, yang diawali desiran, mungkin aliran. Tidak. Ini sudah khusus. Tidak lagi. Tidak ada artinya semua itu.

No comments: