Saturday, March 16, 2019

Salmonella Semir. Bukan Selai Cokelat Kemir[i]


Kepada siapa harus kubertutur? Yang jelas tidak kepada papan-kunci ini. Tidak juga kepada layar cairan ini. Aku tidak bersama siapa-siapa. Aku sekadar duduk di meja makan ini mengetiki. Kalaupun pernah kulakukan yang seperti ini, pasti sudah lama sekali. Dan susu cokelat Ultra hangat ini, uah, sedapnya, sedang kakiku berselonjor ke kursi di seberangnya, sedang telingaku disumbat serenada cahaya bulan. Lhah bagaimana, ini serenada mengapa ada cahaya bulan. Tidakkah ini seharusnya nokturna jika demikian; atau kalau mau tetap serenada, cahaya matahari 'lah.


Biarlah kita tetap di sini sampai pagi menjelang. Uah, ini semua Amerika, dan betul, Prof. Mungkin aku bisa, namun aku tidak menginginkannya, maka aku tidak jadi! Aku tengah bersedih, kalau-kalau ada yang mau tahu. Rasanya seperti cinta bertepuk sebelah pantat. Tak hendak pula aku meragakannya. Bisa jadi ia sekadar kesepian. Adakah Bapak Ibu kesepian. Uah, aku masih harus menguji kemampuan dasar akademik dan penguasaan Bahasa Inggrisku, sementara koda ini, dengan terompet berpengedam ini, aduhai manisnya. Aku banyak mengeluh pagi ini.

Anak seorang pejuang kemerdekaan yang dibodoh-bodohkan, dan satunya lagi juga semacam itu. Ini lagi mengenai cahaya bulan, yang memang seringnya cantik. Jika demikian banyak kecantikan di sekeliling, mengapa harus mencaci, mengapa menyakiti. Mengapa tidak mencinta saja. [Eh, mengapa di tengah-tengah berubah begini, jadi kersen jambon dan bunga apel putih?!] Ketika cahaya bulan yang manis terlelap di puncak bukit, aduhasyik! Khayalan akan cinta. Seperti apa cinta Sarinah pada Kusno, apakah berbalas, apakah seperti gadis berpantat bahenol.

...dan lagi, dan lagi aku terjebak pada tiap saat memeriksa pratinjau. Ini pasti karena kurang cinta, kering kasih-sayang; bukan kering tempe. Uah, memang manis ini jerman-jerman. Mengingatnya aku berjengit. Haruskah kucoba, sedang Hadi nekat mencoba. Hei, kalian di sana semoga baik-baik saja semua, seperti Insya Allah aku pun akan baik-baik saja sekembalinya ke sana. Aku berani pelan bersenandung begini, bersonata emosional begini, karena aku di sini. Seabai-abainya, masih dekat. Masih tersentuh. Jika aku ketakutan. Jika aku kesepian.

Membayangkan ini di Kees Broekmanstraat atau sebangsanya, kengerian! Apalagi Uilenstede 79C. Tidak. Tidak ada yang sanggup, apapun. Bahkan aku curiga mau jerman-jerman mau hitam-hitam mau apapun tidak ada yang sanggup. Hanya Allah! Kurang ajar benar aku begitu padaNya. Ini Sabtu pagi yang aduhai anehnya. Pagi-pagi malah begini. Sabtu-sabtu malah sendiri. Syukur masih di sini, bayangkan di dinginnya Amsterdam atau bahkan hangatnya sekali. Ini masih mending. Aduhai Dalamnya Malam Ini! Apanya yang dalam?!

Jika empat puluh, empat belas, lantas digebuki, ya memang jijik. Sungguh malang nasibku. Kepada siapa aku harus meminta tolong, meminta belas-kasih. Tiada yang peduli. Tentu saja, selain yang Tidak Pantas Disebut di Sini, hanya ingatan-ingatan, kenangan-kenanganku sendiri yang sanggup menolongku. Itulah sebabnya aku menulisi. Kelak ketika terasa seperti ini, akan kubaca-baca lagi dan kukenangkan semua ini. Ini cinta meski tipis-tipis, walau lamat-lamat. Bagaikan selembar sarung tipis yang sudah rantas dari masa kecilmu, yang kembali lagi, menyamankanmu.

Astaga, ini entri tentang apa. Semoga suasana hatiku jauh, jauh lebih baik menjelang siang sampai malam nanti. Demikian juga badanku segar bugar. Apa yang hendak kuabadikan, sertifikasi dosen?! Aduhnehi! Sok nyeni, menertawakan diri sendiri, tidak ada yang lebih menyedihkan dari ini. Bagiku sendiri. Orang lain akan melihatnya memalukan. Aku sih tidak tahu malu. Daripada menelanjangi, lebih baik aku telanjang sendiri, mempertontonkan rayap mati dirongrong bisoprolol. Jika ini benar sanggup memperpanjang hidupku, biarlah rayap mati aku tidak peduli.

No comments: