Monday, March 11, 2019

Entri Ketujuh yang Ditulis di Bagasnami


Hiya, akhirnya menulis entri. Dari semua prasyarat, yang terpenuhi hanya sejuk-mendayunya gesekan biolin, biola dan biolonselo; sedang udara panas di tepian badai, perut kembung setelah menyantap ketropak setengah bungkus, semua membuat suasana tidak mendukung untuk bercerdas-cerdas. Sopiwan baru memberitakan ia sudah bertemu Prof. Sri-Edi dan beliau menyambut gembira rancangan bab-bab disertasinya, sedang tadi malam aku menyemangati adikku untuk menulis disertasi saja di Universitas Islam Nusantara. Permalaikat dengan nama besar, ini masalah mutu diri!


Lantas ada Mochtar Lubis, juga Rosihan Anwar. Jangankan mereka berdua, sedangkan Salim Said saja setua bapakku. Prof. Sri-Edi mengingatkan betapa hukum adat dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat. Di sinilah semakin aku ragu. Betapa hijau penyumbat telinga dan dinding kamar begitu serasi berpadu, sedangkan penyumbat telinga terkadang mendesah acapkali bersenandung. Ini lagi John Fox menyenandungkan cintanya kepada istri. Ini seperti biasa entri yang tidak menceritakan apa-apa kecuali Herlyn yang menurut Mba' Itch mengidap skizofrenia. Kasihan.

Akan halnya aku menulis entri, itu karena memimpin apapun aku tidak becus. [mengguguk] Jangankan sepasukan tentara dari terangnya cahaya, mahluk-mahluk mengerikan dari dalamnya kegelapan, (atau gelapnya kedalaman?) pun aku tidak sanggup. Apa aku pernah berhasil memimpin mayat-mayat hidup, atau hanya perasaanku saja. Jelasnya, aku tidak akan berhasil bila tanpamu. Tanpa siapa? Mayat-mayat hidup yang berjalan sempoyongan, seperti jari-jemari durjana hidung belang merayapi tubuh perawan kencur. Jika kau seorang paraplegik, pastikan lidahmu menari.

Astaga, masa kau bercericau begini rupa di Bagasnami, rumah masa kecil istrimu. Adakah ruang-ruang ini pernah digemangi Hari-hari Anggur dan Mawar, sedang digenangi air banjir tentu pernah, bahkan sampai seleher orang dewasa. Mama adalah seorang mantan anggota Korps Wanita Angkatan Laut berpangkat sersan, sedangkan Tante Lien dahulu menata rambut bertemankan banci-banci, begitu katanya sendiri. Lalu ada Ihza yang masih penuh dengan impian dan harapan. Start up, katanya. Kesehatan mental, katanya. Ia dan Afi adalah anak-anak Kak Nova Rosana Allah yarham...

...yang menurut istriku telah mengisi ruang-ruang di Bagasnami dengan lagu-lagu dan nyanyian dari suaranya sendiri. Ketika ia sudah punya uang sendiri, maka dibelilah karaoke. "Bernyanyilah ia lagu-lagu Panbers, karena itu yang ada di Senen." Hei, ini sudah semacam etnografi. Uah, aku etnografis gadungan. Mengaku-ngaku saja. Uah, ini mengapa cantik sekali, John. Kemana perginya kalian para penggubah kecantikan. Aku suka kecantikan, namun aku lebih seperti A.H. Nasution tinimbang Soekarno. [mengapa pula Salim Said orang Bugis itu suka menggunakan kata tinimbang?]

Etnografi bertumpu dan berkisar pada rincian yang medok, sampai-sampai segala hal yang tidak "penting" diceritakan. Akan tibakah waktunya ketika aku menguliahkan hal ini kepada bocah-bocah yang bulat berbinar-binar matanya, sedang yang kupandang dan terpampang hanya WajahNya. Uah, ngomong apa kau, tolol! Bersihkan dulu dirimu, jiwamu. Kemana perginya semua ratapan dan keluh-kesah, satu-satunya cancang penambatmu. Kau ingin menyembelih anak gendut, kau sendiri apa, hah, Bapak-bapak gendut menjijikkan?! Kau merasa lebih baik dari anak gendut anak serangga itu?!

Ya, sehebat-hebatnya, aku bisa menyamai Salim Said. Terasa benar koq kecerdasannya, meski menurut pengakuannya, kecerdasan itu tidak sanggup mengantarkannya menjadi seniman. Ia, katanya, lantas mengandalkan daya kritisnya saja, karena daya kreasinya kurang. Jadi ternyata Kak Nova adalah wujud cinta Papa Allah yarham kepada baik ibu dan istrinya. Rondan, Syahrul, Aminah. Rosana. Kak Nova telah tiada, meninggalkan Ihza dan Afi tiada beribu, dan karena Kang Sarip harus mencari rezeki jauh-jauh, seakan tiada berbapa juga. [...sedangkan menyeberang sungai berpesiaran.]

Danau Komo, sambil Ibu menjemur pakaian...

No comments: