Saturday, March 02, 2019

Bijzondere Kaulika, Mama Jambula!


Hnah! Ini adalah suatu judul yang epik sangat! Meski seperti lirik salah dengar, siapa peduli. Ini begitu saja terlintas ketika aku menggelosor keluar dari pelataran berkonblok depan Indomaret. Lantas ada sedikit kedutan, kurasa di kemaluan, seraya otak ngeresku menyenandungkan. Ini lagu bajak-bajakku, entah dari Maria Dolorosa atau Arabella. Aku bukan bajak betul-betul. Aku bukan perompak lanun. Aku bangsawan, meski membusuk. Meski kini jez alus yang membelai indera pendengaran, tetap saja aku menikmati nyanyian bajak-bajakku, lelaki dan perempuan. Arrr!


Dan adakah aku Don Masseria yang menikmati hidangan-hidangan semeja penuh sambil bercerita mengenai kesukaannya akan kucing mungil kepada Charlie Si Beruntung. Apabila karena itu perut gendutnya lantas terburai disembur gotri panas oleh Frank dan Bugsy, mungkin memang setimpal. Dan siapakah FX Adjie Samekto yang menggeser MR Andri G. Wibisana, uah, permainan banci macam mana pulak ini?! Aku tidak akan memainkannya. Aku akan memainkan permainan Habibana Rizieq Shihab, meski beliau, kata Bang Andri, tergantung bohir. (Belanda: bouwheer)

Masih mending daripada Bokir! Engga juga ding. Haji Bokir ini seniman. Besar atau tidak itu relatif. Tetap saja beliau seniman. Apa setanding Haji Bokir dengan Habibana Rizieq, aku tidak hendak membandingkan kedua beliau itu; sama tidak pedulinya dengan perbandinganku antara Imam Khomeini dan Habibana Rizieq Shihab. [Apa aku harus gabung FPI seperti Munarman?] Aku tidak harus gabung apa-apa atas keinginanku sendiri. Aku hanya tidak ingin terlibat permainan banci, bohir atau tidak bohir, mau banci Thailand betul-betul atau wer-ewer kluwer wik-iwik ambyar.

Ngerti ora, Son?! Ini entri menjijikkan mengapa sampai menyebut nama-nama mulia. Cukupkah bagiku pengelola bunyi atau itu sudah keliwatan jauh dari cukup. Ini entri menggila seakan tiada peduli dunia yang tidak memedulikannya. Apa benar yang kauharap dari menulis entri begini. Mengering ia? Tidakkah justru engkau membasah membeceki begini. Kemarahan atau ketidakberdayaan, seperti Borisrawa kehilangan pekerjaannya memahat batu, mungkin dengan nyawanya sekali. Yang biasa saja. Tidak perlu yang mewah. Yang benar-benar biasa saja.

Kalau sedikit menjijikkan bagaimana. Ah, keparat kau. Kuhentak, bukan kuremas, picu senapang lantak, menghambur gotri-gotri panas, memburai otak. Jangan! Jangan kaucium tanganku, jangan kaubuang sikap menghormatmu untukku. Aku ini... bahkan tidak pantas mendaku. Biarkan aku menikmatimu meski sepintas kilas, membelai meski hanya dengan pandang sedang sisanya kuselesaikan di tempat lain, di mana kecoa dan kecoa berhumbalang, kadang cuka-cuka. Ini semua dari hari-hariku yang telah lalu, dari masa mudaku, ketika pohon cempedak masih berbuah nangka.

Ini, Sayang, adalah entri Sabtu pagi, ketika kepalaku tadi sempat pusing bahkan setelah dikopi Kapal Api masih ditambah susu kental manis. Setelah aku marah-marah begini, melampiaskan kekesalan, entah bagaimana pusing itu hilang. Padahal hanya jariku saja yang rampak mengetuk. Padahal perutku berlipat, kata bagaimana pula aku harus menyandinya. Apa yang akan terjadi pada kami tentu tidak akan terjadi apa-apa. Sama mustahilnya dengan Kaulika menamai anaknya Jambula. Dunia ini mau sampai mana. Apa pagi ini aku menyapa Sopiwan yang aduhai sungguh warasnya.

Aku apa? Apa aku akan mengatupkan bibir besar dengan kecilnya sekali, bahkan menukarnya, agar tanaman cabai tumbuh dengan suburnya, atau bahkan mencangkok pisang sekali. Ya, mungkin menyapa Sopuyan bisa meredakanku sedikit. Sopuyan jelas bukan rokok kretek. Ia bukan apa-apa yang kubutuhkan karena aku begitu sombongnya, namun ia pasti akan baik-baik saja. Bisa-bisanya ia bicara mengenai 2025, begitulah caranya memahami dunia dan persekitarannya. Aku bisa apa. Aku yang dilipatgandakan bisoprololnya, aku tidak kuasa apa-apa. Aduhai, segalanya sedap belaka!

No comments: