Thursday, September 12, 2024

Membangun Alur, Aku Kesal. Sampai Kapan Begini


Akankah sanggup mengetiki dalam keadaan seperti ini, tentu saja tidak. Untunglah pada 18.30 Samekto menghentikan rapatnya, aduhai lega rasanya. Aku cuma harus menahankannya agak sebentar meski menjengkelkan. Sebenarnya bukan mengetiki ini benar yang menjengkelkan, melainkan tivi yang tepat berada di telinga kananku, meski sudah disumpal ia dengan aquarius. Tahukah apa yang ada dalam cangkir aston itu. Ya, serbat jangkrik sereh masih disimbah madu tresno joyo masuk angin. Puji Tuhanku tak masuk angin sekarang.

Inikah waktunya memasang gambaran yang kusiapkan magrib tadi. Mari kita coba, sedang membangun alur berkumandang di telinga. Berhari-hari sekadar memasang gambar menjengkelkan itu. Ternyata hanya gambar rata kanan-kiri yang dapat dipasang sebelum teks, meski tidak banyak bedanya, sama-sama merepotkan. Kalau begini bagaimana, berapa banyak baris harus dibuat untuk memastikan jumlahnya sama. Uah, dikocok begini memang enak sekali. Masa dimulai bintang-bintang dilanjut kau dan aku lalu malam-malam sepi. Hahaha ternyata hanya perlu dikira-kira.

Menginap di hotel begini memang tidak banyak gunanya, karena selalu saja hanya sebentar-sebentar, sekadar untuk tidur semalam, sarapan sepagian. Padahal tempat senyaman ini seharusnya cocok untuk berkarya, berpujasastra. Uah, ini lagi tiba-tiba engkaulah yang terbaik dalam hidupku sejak dahulu, yang ternyata bentuknya sungguh lucu. Aku sudah terlalu tua untuk bercinta-cinta. Aku cukup begini saja, menjalani hidup dalam cinta; yang jika kubiasakan terus berima begini, sama saja dengan Leonard bermimpi ingin menjadi bintang rap, meski'ku berakhir ilmuwan.
Seluruh alam semesta kita berada dalam keadaan panas dan padat ketika aku menahankan hari-hariku di ruang duduk Uilenstede yang kala itu serasa takkan berakhir. Sekarang pun belum berakhir untukku dan Hadi, penantian ini, sudah untuk Bang Isal. Tahniah! Biarlah kini, sementara ini, kunikmati sedap-sedapnya bergoyang berayun-ayun dari masa kecilku yang mencintaimu sebagaimanamu. Adakah aku pernah ke kampung kalian lalu bermain ayun-ayunan di tepi semacam danau, yang mungkin sebenarnya sekadar empang semacam yang ada di Nging Kemang, kurasa.

Ini adalah pemandangan ke arah utara, kurang lebihnya. Di sudut kanan bawah agak ke tengah itu jalan keluar masuk yang lumayan panjang. Tepat di depan gerbang disambut Alfamart, ke timur sedikit Indomaret, pembunuh-pembunuh hipermarket ini; biar mampus! Tidak ada pula kenangan manisku pada kalian kecuali sedikit makanan yang tiada istimewa atau buku-buku yang diobral. Betapa sia-sia umur yang telah kubuang selama ini, entah berapa yang berguna: Aku akan selalu mencintaimu. Cinta yang selalu cantik, cinta dalam hidupku, Sayangku.
Aku belum pernah ke Berlin maka nafasku tidak pernah diambil siapapun. Aku hanya pernah tinggal di Amsterdam agak beberapa waktu, juga Maastricht. Aku tidak pernah benar-benar ke tempat-tempat lainnya. Aku hanya suka makan pisang yang sudah cukup matang, seperti cantik suka pisangnya matang dalam nagasarinya. Aku ternyata juga tidak terlalu suka carbonara, entah adakah yang benar-benar pas bagiku. Meski dalam keadaan seperti ini, bolognese bahkan aglio olio terasa berlebihan untukku. Mengapa lancar sekali aku berbicara mengenai makanan [keluh].

Kapanpun aku tak pernah suka menyusuri jalan pulang ke rumah dari gerbang atau armada, karena lewat manapun pasti bertemu setan pocong. Lebih baik jalan pintas memotong melalui pangkal jayapura, sungguh sudah lama sampai tiada terasa, karena nyatanya memang hanya dua tahun. Sebenarnya sama dengan Amsterdam, Maastricht dan sebagainya. Seperti ketika menghabiskan waktu-waktu di Palembang yang sudah pasti lebih dari sehari namun sesungguhnya tidak lama. Entah berapa pempek tunu kuhabiskan ketika itu, entah bagaimana kulalui semua itu. Entahlah.

No comments: