Friday, March 01, 2024

Petembak Runduk Tak Ubahnya Pesumpal Guagarba


Mungkinkah mengitiki jika rasa tak berdaya merambati, merayapi tengkuk sendiri yang ambeng kerok. Ketika disambung begitu bertentakel delapan, sedang sang pendeta perempuan hanya dua. Iya, iya, begitu mantra untuk memanggilnya. Aku sedang menikmati kesendirian, kesunyian, tanpa ada bunyi-bunyian bahkan penglihatan meningkahi. Kecuali selembar celana dalam, kecuali tas tote bermotif kamuflase. Aku masih ingat pada posisi ini membangun dan menghancurkan peradaban. Kota dapat begitu saja beralih kesetiaan, biasanya padaku. Padaku dikau mengulurkan tangan.
Di dalam pelukan seorang berspesifikasi bidadari, samba, samba, kau 'kan menemui kenyamanan. Maka begitu saja aku berdisko dalam kepalaku, ketika beberapa sangkakala menyelompret bersamaan, ditingkahi beribu-ribu dawai bergetar diraba kekasihnya berambut ekor kuda. Bagaimana kalau bentuknya tidak sedap dipandang, berminyak, dan mungkin feromonnya terlalu menyengat bercampur aroma lemak basi. Aku tetap berjingkrak memutar-mutar lengan sambil mengayun-ayun kepala botak seakan masih ada kribonya, meski di ketiaknya, meski di selangkanganku.

Ah, sudah waktunya berangkat ke Mars, karena aku komandan penerbangan Boniface Ronald Johnson. Betapa cantik terdengar suara istriku, bercerita betapa anak-anak merindukanku. Di sabuk asteroid bisa ada badai luar angkasa yang dahsyat, yang sampai mengganggu tautan komunikasi angkasa dalam, yang mungkin menyapu juga kapal angkasaku sampai kandas di lautan helium Jupiter. Suaraku pasti jadi lucu seperti bajing berekor pendek, maka sudah waktunya kukeluarkan air minum dari pembeku. Mungkin bisa juga sambil mencuci gelas plastik bekas minum.

Nyatanya, aku tidak pernah mengendarai apapun. Jangankan kapal angkasa, pesawat ultra-ringan saja tidak, apalagi balon udara bertenaga biogas. Aku memang pengkhayal celaka yang sudah di tepi jurang kebohongan. Bagaimana jika isi kepalaku ternyata bohong semua, kepada siapa lagi aku akan percaya. Kepada pastel mak cik yang sambalnya encer namun jika banyak-banyak bisa mengakibatkan tahi encer, mungkin aku masih dapat percaya. Kepada kisah cinta Sheldon dan Amy yang tidak lebih menjengkelkan daripada Robin dan Barney: Tahi mereka semua itu!

Setelah mukaku berlumur tahi encerku sendiri, [karena tak mungkin kusemburkan pada Sheldon dan Amy, pada Robin dan Barney. Mereka tokoh rekaan semua] aku agak tenang sedikit. Heh, tapi bagaimana aku menyembur muka sendiri dengan tahi sendiri, apa aku semacam kontorsionis. Tentu tidak, aku hanya orang sok asik, sok iya, padahal mengagumi pahlawan-pahlawan kuat dan ajaib, dan mengkhayalkan mereka benar-benar ada atau pernah ada seperti Susilo Bambang Yudhoyono atau Prabowo Subianto. Aku santai saja, karena akunya hijau.

Mengadakan barang dan jasa publik itu kurasa seperti mengada-adakan cerita yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Jadi seperti mengada-ada begitu, seperti beberapa hari berturut-turut naik kereta dari Gondangdia sampai UI, terakhirnya sampai Depok sekaligus. Langit menangis seakan merasakan kesedihan seorang ibu yang anak-anak hebatnya belum jadi apa-apa. Memang butuh berbagai jenis orang untuk membuat dunia ini terus berputar, kadang ada yang di atasnya, kadang di bawahnya. Begitu saja terus sampai kapan entah, akunya tak berasa, tak berperisa, septriasa.

Armageddon itu sebenarnya korupsi dari armada gendon, lhah, mengapa gendon sampai mengarmada. Apa seperti musuhnya pasukan kapal bintang yang anak-anaknya sanggup mencabik-cabik manusia seakan-akan terbuat dari kardus. Aku menggelosor seperti bapak semang, melata-lata di sepanjang aspal Yado 5 ketika masih Yado 2, beringsut-ingsut merayap sampai pulang kepada bapak ibu, alasan mengapa aku ada di dunia ini. Segalaku, asalku, tempatku menuju, tempatku pulang. Di kehidupan lain kudekap bapak ibu erat-erat seakan tak hendak lepas lagi.

Selama-lamanya.

2 comments:

Anonymous said...

Sheldon dan Barney masing-masing diperankan pria bersuami pula. Hih!

Lembaga Penelitian Hukum dan Masyarakat said...

Pesumpal lubang tahi