Thursday, June 22, 2023

Pisang Dijepit Dua Susu Jadi Susu Pisang Susu


Langsung saja jangan kelamaan. Tak perlu diatur-atur dulu yang penting langsung diberondongkan. Jangan lupa, ini adalah entri mengenai susu pisang susu. Jika pun judulnya nanti bukan itu, yang penting isinya harus susu pisang susu. Jika ini tidak seperti S.M. Ardan atau Radhar Panca [eh, doi cerpenis bukan, ya]. Beberapa waktu terakhir ini aku mengitiki dalam keadaan marah dan sedih, koq bisa. Itu juga pertanyaanku. Sudah berulang kali 'ku katakan mengitiki harus dalam suasana hati memaafkan dan senang. Emang ada suasana hati 'gitu, belum kena susu pisang susu. 
Bagaimana suasana hatiku, apa benar yang menjadi kekhawatiran atau sekadar perhatianku, tak seorang pun 'kan peduli. Tidak juga kau! Tak perlu sedu-sedan itu. Aku ini binatang malam, dari kumpulannya terbenam. Akan halnya aku mengitiki sekarang ini, karena, seperti biasa, Sopuyan atau siapapun memang terasa medioker olehku. Aku ini memang sombongnya kelewatan. Betapa mengerikan mendengar Bang Fred berencana mati dalam waktu sembilan tahun karena dia tidak mau kesepian, kehilangan teman-temannya yang sibuk. Bagaimana denganku. 

Apakah aku sedang belajar bagaimana mengikuti dari belakang sambil memberi manfaat. Halah, tidak perlu sok dikeren-kerenkan keadaan ini. Perasaan hati ini, ikuti saja alirannya, seperti perut yang mengalir membuncah, mendesak ke segala penjuru celana, sampai kolor Jack Parker serasa hampir meletus balon hijau. Dor! Mengacaukan hatiku, sedang sebenarnya hanya lipatan itu dan sedikit tonjolan yang mungkin karena saking sedikitnya maka mengingatkanku pada Ubertino dari Casalle, atau pada jungkat-jungkit. Peradio antarwarga atau Neng Milla. 

Aku hanya ingin menjilat-jilat, tidak ingin mencolok-colok, dan memang sulit mengitiki hanya dengan sebelah tangan, sedang tangan sebelahnya memegang basah-basahnya melon jingga yang ranum menyegarkan. Manisnya yang lamat-lamat merekah seperti putik bunga malu-malu, bukan seperti mempelam yang matang merona namun menyembunyikan guratan-guratan cakar dan taring kampret di sebaliknya. Ah, aku suka, 'ku cecap dan 'ku sesap madu, manis nektarnya yang memabukkan. Aroma asli feromon perawan tak perlu kedok parfum tante-tante nan menyengat.

Astaga, ada waktu-waktunya rata kanan-kiri ini begitu menjengkelkan. Namun kejengkelan itulah sumber dari ketegangan yang mengendurkan, yang mendengkurkan. Seperti ketika melihat barisan rumah purba sampai akhir abad pertengahan yang lurus dan tepat perseginya atau panjang. Barak, panahan, dan istal pun segaris, sedang lumbung dikelilingi tepat delapan ladang. Menara-menara pemanah bahkan meriam menghubungkan tembok-tembok kota kokoh tak tertembus mahluk barbar. Jika ada pelempar batu berapi segera ditiupkan naviri sangkakala.

Aku bukan binatang malam, apalagi jalang. Aku binatang jinak seperti seekor kucing jantan yang agak bodoh, atau anjing yang baik dan setia. Tentu aku punya cakar dan taring, namun seringnya cakarku 'ku gunakan untuk memijat-mijat. Taring juga 'ku pertontonkan untuk lucu-lucuan saja. Jangan pula kau cari makna di sini, 'Ngga, seperti mustahilnya kau cari makan di sini. Semua kejengkelan ini, semua kekecewaan ini, sesungguhnya tidak lebih dari gehu dan tempe kemul masing-masing dua potong. Teh tarik baru dengan resep nan diperbaiki meningkahi mereka. 

No comments: