Friday, March 11, 2022

Tanah Airku Mengroncong: Masa Kecil Pak Bambang


Sungguh sulit. Meski setetes demi setetes, masih terus saja menetes, membawaku ke lantai teraso yang amit-amit jangan sampai ketemu lagi. Menyisakan kenangan pahit, jika sekadar laptop kecil hilang diembat orang. Ini seharusnya menjadi lecutan untuk berpacu, melesat seperti kuda hitam jantan jadi-jadian Puka, melemparkan Panglima Kormak ke dalam rawa-rawa. Ini justru kenangan yang lebih menyakitkan, karena masih ada namun sudah tidak begitu lagi. Apa kututup saja goblog ini, yang kukasih Dedi untuk tempat dan waktu terindah dalam hidup. Hidupku di dunia fana, yang sementara ini.

Puji-pujian kepada tanah air, kampung halaman, itu hanya bagi generasi yang belum mengenal Si Mata Satu, yang memelototi anak-anak bocil. Orang tua-tua melihatnya seperti mata Betara Kala, merah meradang, dengan pembuluh darah bersulur-sulur menonjol seperti akar beringin, meleleh-leleh lendir bergolak busuk baunya. Anak-anak bocil melihatnya seperti suwarga panorama bertebar bianglala, cantik memikat tak terpermana, menghipnotis mata-mata mereka berputar-putar seperti payung fantasi di taman ria. Aku si orang tua tidak berdaya, karena kami pun melakukannya, apatah lagi hendak dikata.

Haruskah aku yang lungkrah didera jasad renik mengangkat senjata memerangi Si Mata Satu demi anak-anakku bocil. Seperti apakah peperangan itu, masakan aku setua ini masih bersenjatakan pelontar batu seperti Daud anak gembala, menghadapi raksasa Goliath berzirah, berperisai, bertombak, berpedang. Rasulullah bahkan sudah lebih tua dariku sekarang ketika mengamangkan Dzulfiqar. Oh Allah, seandainya Rasulullah masih ada bersama kami dalam masa-masa seperti ini, betapa bahagianya. Sedang Badui tak tahu adab saja mendapat senyum beliau, Oh Gusti betapa hamba rindu.

Entri ini memang 'kukasih Dedi untuk memperingati Supersemar, yakni semacam Superman berkepala Semar. Dahulu ada gambarnya lho. Dahulu yang seperti itu masih lucu, masih ada harganya. Sekarang semua ditoleh pun tak, setelah ada Si Mata Satu. Pengetahuan yang didapat darinya sesat dan menyesatkan semua. Kau pun menggunakannya, begitu kata Ari Condro Wahono. Ya, memang tolol, kuakui, Con. Menurut KH. Abdi Kurnia, KH. Zaenuddin Mz. mulai berdakwah karena mendapat restu dari gurunya, KH. Idham Chalid, bukan karena dorongan dan dukungan suatu "manajemen dakwah".

Seperti halnya aku melihat segala sesuatu di nDalem Yado, seperti itulah segala sesuatu akan berlalu. Masih adakah semangatku untuk mewujudkan kebahagiaan itu. Aku, jelasnya, tidak pernah berhenti berdoa, selalu berharap. Terlebih ketika badan lungkrah begini, justru semakin keras doaku. Ini buktinya, aku menulisi. Kutulisi dengan keras goblog ini, seakan-akan aku berusaha membangun kebahagiaan itu dengan tangan-tanganku sendiri, langsung dari dalam pikiran dan khayalanku, langsung dari perasaanku, dibasahi derai air mataku. Kususun bata kebahagiaan itu satu per satu, aku bersikeras.

Akan halnya Pak Bambang Wahyono disebut-sebut, karena beliau selalu mengenang waktu-waktunya di mBarepan dengan penuh kerinduan. Apakah semata kerinduan akan masa muda, atau memang karena di sana terdapatnya impian yang muspra. Sedang kawan-kawan seangkatannya Takwa merayakan syukuran bintang pertama, sedangkan Kolonel Dr. Sigit secara pribadi menghubungiku, aku terus saja termangu-mangu mengenangkan impian yang hancur menjadi remah-remah. Tidak! Kupunguti remah-remah ini, kususun kembali menjadi kenyataan, selama hayat masih dikandung badan.

Dentam-dentamnya cello seperti detak jantungku sendiri, mengilhamkan, mengalirkan kesehatan ke sekujur tubuh dan jiwaku, lahir batin. Ya Allah, hamba memohon hanya kepadamu, seperti setiap malam hamba berdoa. Hamba belum putus asa. Asa itu terus bersambung sebagaimana malam bersambung malam berikutnya. Entri ini kutulis dalam keadaan badan lungkrah didera jasad renik. Ini bukan perlawanan. Aku hanya mengikuti alunannya saja, yang mana memang mengalun seperti ombak di Pantai Senda Gurauan. Seperti malam-malam di Lembah Tidar yang penuh berkah, seperti itulah ia.

No comments: