Saturday, October 16, 2021

Melumat Kemaluan Putri Salju, Siapa Mau


Ternyata aku sempat membuka penyunting teks ini beberapa hari lalu, dan aku membukanya kembali beberapa hari kemudian, senyampang mendengarkan Camajaya FM yang penyiarnya cingcong mengenai psikologi praktis. Retroaksi membuatku tidak mungkin merekam semua rincian kegiatan hari ini, sebagaimana semua rincian kegiatanku sehari-hari memang tidak penting. Jadi, seperti biasa, aku mengumbarasa. Tidak penting apakah hari mendung sedang udara terasa begitu gerahnya.


Aduhai betapa banyak yang sanggup membuat hati gundah, padahal sekadar tidak sengaja melihat atau mendengar. Lagipula salah sendiri mengapa iseng sampai mengetiki begini. Coba kau menyibukkan diri dengan hal-hal penting yang memang harus kaukerjakan, pasti tidak akan terbersit itu pikiran-pikiran ajaib yang mengganggu hatimu. Lhah, ini kenapa jadi Wali begini namun bukan religi. Tidak heran mereka sudah berhenti bikin album. Seperti Sheila on Seven, kreativitas mereka ini sungguh terbatas.

Maka begitu saja aku kembali mengetiki. Semua sudah 'kuketahui, tinggal dikerjakan, dan ini adalah tanda-tanda betapa kata-kata akan tersendat-sendat. Setiap kali aku menghadapi meja ini, setiap kali aku menghidupkan perkakasku, maka goblog ini pula yang 'kubuka. Ini adalah retroaksi sehingga tidak mungkin 'kurekam apa yang 'kurasa tepat pada saat ini. Aku hanya bisa mengumbar kesan umum dari hidupku yang aduhai, meski boleh saja 'kukatakan betapa putri salju agak menyakiti perutku, membuat pusing.

Aku lebih suka putri malu tinimbang putri salju, meski memang tergantung tempatnya. Jika itu di kawasan NDSM, Amsterdam Utara, maka yang bertebaran berserak di tepi-tepi jalan tentu saja putri salju. Bahkan di suatu akhir Maret atau awal April, di pagi hari yang dimulai begitu cerahnya, putri salju begitu saja memburai dari langit yang mendadak mendung. Namun ya begitu, aku tidak pernah mencicipinya, putri salju kusam bersimbah lumpur. Aku sudah tidak se-greng Gregorius, meski tentu beda alasan.

Ketika pengeluar air panas bergalon bawah mogok, maka cerek dan termos mengambil-alih tugasnya. Ketika secangkir susu jahe merah Bintang Tujuh harus diseduh. Ini apa lagu kacangan begini mengapa diputar, ketika sekitar diafragmaku terasa slentem-slentem. Ketika sebuah koma dapat merusak estetika, ketika itu pula titik berlaku sama saja. Maka begitu saja 'kuberi koma, sedang ini masih baru lima baris. Jika kautanya, sungguh ingin 'kumengganti judul itu, namun setelah 'kubaca lagi, tidak ah biasa saja.

Sempat terpikir olehku untuk menggantinya menjadi blasteran Mandirancan dan Siatas Barita, namun biarlah ini untuk kesempatan lain saja. Memang aku ngomong asal-asalan bukan di sini saja, melainkan juga di kehidupan nyata. Biarlah 'kutulis di sini Hari Prasetyo merasa tidak berbakat menjadi akademisi karena malas menulis. Aku pun, meski alasannya bukan karena aku malas menulis, melainkan karena aku terlalu suka berolok-olok, sedang dunia akademik adalah suatu dunia yang aduhai betapa seriusnya.

Apa 'kukenang saja di sini putri-putri malu, atau putri malu-malu, yang 'kuinjak-injak sepanjang hidupku, ataukah justru mereka yang menginjak-injak harkat dan martabatku yang tidak pernah ada. Aku seperti khayalan Stephen Chow mengenai Kakak Pertama, si Kepala Besi, yang suka dikencingi dan, setelahnya, mengenakan celana dalam si pengencing pada kepalanya. Aku seperti anjing, sedang anjing saja tidak mau seperti aku. Siapa yang mau seperti aku, yang sekadar berkhayal melumat kemaluan putri salju.

Uah, siapa sangka entri ini, seperti lagu-lagu, bisa menyebut judul dalam badannya. Ini suatu dot prestation ratio yang patut dirayakan, dengan apa. Dengan gesekan biola yang sedengarku selalu sok cerdas, seperti lagu-lagu pop Indonesia sepanjang dekade 1990-an, yakni, ketika aku masih muda perkakas namun tolol setengah mati. Sekarang aku bisanya memamah biak, sampai berat badanku lewat seratus lagi. Apa betul mengganti nasi menjadi kentang, baik rebus atau tumbuk, dapat menurunkan berat badanku?

No comments: