Saturday, October 23, 2021

Kesatuan Satu Di Mana Bude Beristri Wanita


Masalah pertama adalah kibornya tidak beriluminasi, jadi lampu belajar yang tunduk di belakang tidak banyak membantu. Masalah kedua, setelah menyalakan lampu atas, kemiringan layar membuat bayangan terang lampu telak memantul. Tidak mungkin 'kunyalakan lampu depan karena itu akan membuat silau kamar Cantik. Begitulah problematika, dilema sederhana, yang terkadang timbul ketika kita sekadar mengetiki. Ini entri mengenai apa, sudah tidak penting lagi, selama aku terus mengetiki begini.


Tidak akan pula 'kutuliskan di sini, meski jika 'kunyanyikan mungkin bunyi "l"-nya akan 'ku-tasydid-kan, seperti ketika menyanyikan Gubahan Gatot Sunyoto. Seperti sekarang ini, meski sudah sikat gigi, tetap 'kukulum-kulum Ricola Herba Asli, yang rasanya lebih manis dari apapun yang pernah 'kukulum, meski bebas gula. Lonceng-lonceng perak berdentang-dentang dalam kalbuku, mengingatkan betapa apapun di punggung bumi ini tiada yang abadi. Tetap perut bumi yang dapat diharapkan menjadi tempat berakhir.

Namun Lagu Cinta akan selalu sesuai dan mutakhir, meski aku tidak ingat lagi seperti apa cinta muda pada usia duapuluhan sampai awal tigapuluhan. Terlebih cinta remaja, aku tidak tahu apa-apa. Dengan ini, terkenang dingin-dinginnya Maastricht, mungkin masih di bilangan Malberg, atau di sekitar Laathofpad yang aduhai demikian sunyi. Hanya desau bis Veolia sesekali melintas, terdengar dari kamarku di lantai dua. Aduhai kemudaan, aku sekadar teringat, namun tidak sampai merindukanmu. Selamat tinggal.

Malam-malam di Kees Broekmanstraat, Uilenstede, atau Kraanspoor seperti apa, tempat-tempat yang pernah menjadi rumahku secara mental. Bilakah 'kututup tirai di Kees Broekman. Kalau Uilenstede begitu gelap, dan gelap selalu berubah-ubah waktunya di belahan bumi utara. Aku belum pernah tinggal di belahan selatan. Masih adakah padaku kekuatan mental untuk menjalaninya. Entahlah. Hidup seperti apa yang masih tersisa di hadapanku, dengan kesehatan yang tidak 'kupelihara baik begini. Aku sungguh tak tahu.

Seekor [Burung] Kondor melintas di atas kepalaku, sedang Emmanuelle merebahkan kepalanya di dadaku. Justru bau pesing kencing basi yang terhirup olehku, di malam musim semi, di marina dalam kota, di tepi sungai itu. Kini, ketika perutku tumpah-ruah menahan kelebihan beban sekitar duapuluh lima kiloan, aku hanya bisa meringis teringat bau pesing. Sekarang bau pesing hanya bila ada yang lupa menyiram lantai jamban, dan itu jelas bukan aku. Kambing pun kini menjalani hari di kaki Gunung Salak.

Aku Tidak Tahu Bagaimana Mencintaimu. Aku bahkan tidak tahu apakah harus menyisipkan "caranya" di antara "bagaimana" dan "mencintaimu". Uah, aku malah terlempar kembali kepada suatu ketika Sam begitu saja menjulurkan lidahnya di depan pintuku. Itu masih lebih baik daripada Tante Hindry tiba-tiba menyeterika di situ. Apa yang 'kupilin-pilin, 'kukilik-kilik setelah itu akan terus menghantuiku. Tepat di sinilah judul dan isi tulisan bertaut. Tak Perlu Kaukatakan Kau Mencintaiku. Itu bohong belaka.

Aduhai Anggur Cinta dari Selamat Tinggal, Sayang, Selamat Tinggal. Memang itu pada dasarnya yang kauucapkan ketika kita tidak pernah benar-benar berpisah. Langsung 'kuhapus karena memang sangat tidak disiplin seakan tidak tinggal di Hilton Hanoi. Kesakitan itu biarlah sirna, bersamaan dengan sirnanya kelebihan berat badan dan berbagai masalah kesehatan. Cinta itu, lebih dari apapun, adalah menyembuhkan kesakitan, bukan minta disembuhkan. Cinta itu memberi dan memberi, bukan meminta.

No comments: