Thursday, April 01, 2021

Woy! Main Slepot Tangannya Sempoyongan


Ya, memang masih bukan wanita tuna stereo (WTS), tapi ini kali pertama aku mengenakannya setelah bertahun-tahun gara-gara debaman, ya, dentangan tiada henti yang sudah memasuki minggu ketiga. Bahasa Jawanya jauh lebih parah dari aku, padahal dia mengajar bahkan lahir besar di kedua-dua pusat kebudayaan Jawa nan adiluhung. Beginilah pikiranku melompat-lompat, berkebat dan berkebit berkesiuran, lincah dan liar, sedang badanku sendiri lebih banyak diam dan bergerak pelan seperti seekor kukang. Itu setelah menyeruput susu kedelai tercemar kopi.


Tidak berarti juga entri ini dikasihkan Dedi pada Simbah Eric Victor Burdon. Meski memang keren, tapi hidup liarnya sok musisi '60-an aku tidak suka. Akan halnya aku menulisi ini, ada ular... halah. Pokoknya, belum. Daun-daun masih lama lagi akan berguguran, dan 'kuharap aku tidak akan menyaksikannya yang tahun Gregorian ini. Biarlah 'kusaksikan dedaunan bersemi, sedang awal musim semi ini suhu mencapai duapuluh dua derajat selsius! Hiy, meski gelombang panas, 'kuharap aku tidak akan mengalaminya tahun Gregorian ini. Aku lebih suka musim kemarau basah.

Baik Bu Andras maupun Charlie Chaplin menyuruhku tersenyum, sedang Bu Eko membuatku bernyanyi. Aku, yang seperti Itang Yunasz atau Stringfellow Hawke ini, memang suka bernyanyi. Jika Adjie sangat berminat pada ketampanan, tidak menjadi masalah. Memang benar kata Pakde Gomblohnya: goblok 'dikit tidak apa, asal baik dan rajin. Hinaan dan cercaan membuatku teramat menyukai tragedi sampai-sampai membuat Istriku tersiksa. Apa jadinya pada Adjie. Hinaan dan cercaan juga membuatku memaki. Seperti apa aduhai kiranya dunia tanpa makian.

Alhambra! Bulbul dua kali berturut-turut! Aduhai cantiknya seperti Istriku yang membuatku melafalkannya menjadi naitinggel, tidak lagi naitinjel. Jika habis ini aku membangun peradaban, mau apa dikata. Tidak Gerben, tidak Laurens dapat berkata apa-apa mengenainya. Pernahkah engkau digantung pada ibu jari kaki sedang tangan-tanganmu dibelenggu bandul besi. Lebay sudah tentu, namun begitulah. Biarlah aku menari berputar-putar ditingkahi gaung-gemanya nyanyian bulbul dari masa mudaku, dua kali berturut-turut! Tinggal itu yang tersisa padaku, agar riang rasa hatiku.

Ya, hatiku bernyanyi karena cinta sejati. Cinta adalah sesuatu yang sangat megah. Baru tahu aku kalau terjemahannya begitu, setelah hampir empatpuluh lima tahun hidup. Asaptaga, usap dengan lembut. Balada romantika, entah mengapa begitu saja. Tidak perlu memasang tarjet apapun, selama masih ada ibu-ibu rempong berlejing pink. Selain tragis juga fatalis, itulah akibatnya. Adakah harus 'kuselamatkan 'ponakanku dari nasib itu, 'ku 'tak tahu pasti. Hidup begini adakah hidup yang benar-benar enak. Seperti Tony Benedetto, hidup enak dicium selamat tinggal.

Rasanya seperti edan saban-saban memeriksa pratinjau. Kapan kebiasaan buruk itu harus dihentikan. Adakah sekarang. Bisa jadi. Lihat. Aku tidak terkungkung oleh apapun, apalagi prasangka tolol seperti rata kanan kiri. Toh nyatanya tidak pernah benar-benar bisa rata kanan kiri seperti di Word, jadi hentikan kebiasaan tolol saban-saban memeriksa pratinjau, seperti kebiasaan tujuh lima, tujuh lima, jadi lima dua lima. Lantas kalau tiada yang dihentikan apa akan diumbar saja seperti kengerian menggeliat-geliat. Uah, sampai di sini aku ragu. Aku t'lah terlalu terbiasa.

Kalau dikatakan ini surat cinta, jelas musykil. Namun hatiku rasanya seperti sedang mencinta. Tidak. Aku sudah tidak sanggup lagi berbalada romantika. Cintaku sekarang cinta pensiunan yang lamat-lamat mengalun, tidak lagi cinta muda yang menjompak-jompak. Namun bukan berarti aku sudah tidak sanggup lagi jatuh cinta. Masih. Sekarang saja aku mengajak jatuh cinta, namun yang mengalun lamat-lamat begini. Ada yang mau. Tentu tidak ada kecuali diriku sendiri. Tidak mengapa. 'Kudengar diriku sendiri menyahut ajakan untuk jatuh cinta. Aduh, sungguh syahdu mesra.

No comments: