Saturday, February 10, 2018

Alas Kaki Mungil Warna-warni. Di Aspal


Sudah sangat lama dan sudah berkali-kali pula aku ingin menulis mengenai topik ini. Kurasa baru kali ini kejadian. Tidak ada juga yang ingin kukatakan mengenainya, hanya saja mereka memang hampir selalu menarik perhatianku ketika aku sedang menggelinding bersama Parioh Sty. Biarlah. Di malam minggu yang hangat ini aku bertelanjang dada, sedikit berkeringat gara-gara makan ketupat sayur dididihkan kembali, dengan panci, di atas kompor sekali, sudah itu minum teh tawar seduhan entah keberapa kali. Sedang Opa Bram mengelus-elus jiwaku melalui JBL.

Ini katanya Dewi Murni hahaha dia pasti merasa edan jadi Dewi Murni
Aku masih saja umek dengan rata kanan kiri. Ini sempat terpotong gara-gara Cantik minta ketoprak. Padahal semalam terasa seperti ingin mengomentari kajian sosio-legal. Malam tadi otakku penuh dengan berbagai teori dan argumentasi seakan aku ilmuwan ulung. Pagi ini, setelah terbangun shubuh dan mengulang hafalan al-Balad, yang terpikir malah sekadar lapak, sedangkan mesjid QS mengumandangkan al-Qiyamah guna memanggil santri-santri RQ. Cantik kebagian menyiapkan konsumsi santri, membuat teh satu dispenser dan melayani mereka.

Urusan rata kanan kiri ini memang sudah membuat edan. Seharusnya tidak usah setiap alinea dicek. Cukup lakukan di alinea pertama sudah itu dikira-kira saja. RQ sudah mulai. Daripada mendengar suara acara gosip entah-entah, aku melanjutkan koleksi keroncongku semalam. Kali ini Tante Kartina Dahari yang wajahnya mirip Cantik. Aduhai, Rindu Lukisan! Ah, cinta remaja memang luar biasa meski itu bukan cintaku. Sungguh pilu jika kini ia menjadi cerita yang kurang sedap didengar. [haruskah onomatop seruan tiap-tiap kali kumiringkan cetaknya?]

Di belakang Rindu Lukisan ini ada intro, sepertinya waarom huil je toch, Nona Manis. Mau dipotong sayang. Memang maat, nyamleng tenan keroncong ini, terutama tepuk-tepukan cello-nya. Aduhai, seperti ditepuk-tepuk sayang ketika mau tidur, masa kanak-kanak dahulu. Oh, ternyata di belakang Terkenang-kenang ini ada juga sepotong intro, meski aku tidak terpikir apa. Jika kualitas rekamannya bagus, Oentoek PJM Presiden Soekarno ini sebenarnya sedap juga. Ternyata Soetedjo yang menggubahnya. Bisa jadi jika sekarang ia adalah seorang Jokower hahaha.

Gara-gara PJM Presiden Soekarno ini pula perhatianku tertumbuk pada suatu blog yang kasihan. Sepertinya justru lebih kasihan daripada blog ini, tetapi lebih keren, karena mengenai KKO dan Dwikora. Kurasanya isinya harus diselamatkan kalau memang keren, takutnya hilang. Uah, terkadang aku merasa kesetiaanku terbelah-belah. Kadang-kadang saja, sih, karena Insya Allah kesetiaanku sudah jelas. Pasti. Seperti yang terlintas ketika pulang beli nasi uduk padang tadi. Aku tak ubahnya tikus, wirok atau pithi, yang pada mejret di sepanjang aspal atau jalanan apapun di dunia.

Huahaha akhirnya sampai juga ke aspal sesuai judulnya. Memang beginilah cara kerjanya, terlebih jika mengingat aku pernah mengatakan cara berpikir Bagus Suryahutama melintir spiral. Ini apa namanya hahaha. Ternyata bukan alas kaki, melainkan tikus. Alas kaki, meski di bawah kaki tempatnya, jika di aspal bentuknya masih agak lumayan lah. Dicuci sedikit pun, asal belum tergilas, akan bagus lagi bentuknya. Lhah tikus?! Meski hampir tidak pernah di bawah kaki--kalaupun iya pasti gadisnya memekik-mekik kegelian--tidak pernah tikus bagus bentuknya.

Mau di aspal, mau di comberan, mau di manapun, bahkan Scabbers pun ternyata Peter Pettigrew 'kan. Sudahlah, tidak perlu sok-sok'an mengolah-olah paradoks. Memang kamu sudah pernah jadi jenderal seperti Pak Nurhana, belum 'kan? Jadi tidak usah saja ya, Nobita. Kekuatan pikiran, kemenangan absolut, sudah gila apa kamu? Sudah. Keple lagi. Bersyukur sajalah kamu masih bisa menikmati Dewi Murni dengan martabatmu utuh. Itu pun semata-mata karena aib-aibmu ditutupi, disembunyikan olehNya. Ampuni hamba, Rabb. Kasihanilah hamba, mahluk nista ini...

No comments: