Friday, February 06, 2015

Lelaki, Rembulan, Monas dan Wantannas


Antara 3 sampai 5 Februari, aku berada di antara rembulan, Monas dan Wantannas. Aku lelaki, berangkat pada Selasa pagi mencongklang Vario. Di pagi yang mendung itu aku sampai di Jalan Radio. Masih juga menyempatkan diri sarapan Ibu Tamin, lauknya telur dicabein, ada bihunnya, sayur nangkanya, ekstra tempe goreng Ibu Tamin yang legendaris itu. Sepuluh ribu. Alhamdulillah masih sempat mengobrol sebentar bersama Bapak Ibu. Sekira delapan lebih lima belas, melangkah mantap ke pinggir jalan, menyetop Prima Jasa.

Begitulah segala sesuatunya berawal untuk mengawali Februari 2015 ini. Urutan sebenarnya adalah Wantannas, Monas, baru rembulan, karena pagi datang dahulu mengemudiankan petang. Aku lelaki, terlalu sering cingcong pada supir taksi. Mungkin sebaiknya jika cingcong demikian jangan tanggung-tanggung. Langsung gjeger aja biar aamiin. Meski, seingatku, memakan waktu cukup lama juga untuk gjeger. Akankah terjadi lagi padaku? Terjadi apa? Apa harus seperti itu lagi? Apapun itu, asalkan efeknya sama atau bahkan lebih dahsyat pada trajektori yang sama. Aamiin. Aamiin Yaa Rabbal ‘alamin.

Aku lelaki pantang mundur jika timbang cingcong doang, karena hanya itu kebisaanku. Secara substansial, akibatnya, tidak ada yang bertambah. Hanya saja harus selalu diingat untuk di mana pun berada memberikan karya terbaik bagi nusa, bangsa, negara dan dunia. Lhah, agamanya mana? Katemi saja berpesan begitu pada anak-anaknya, meski paku telah dicabut dari kepalanya. (atau Suketi...? Ah, kurang nonton Apresiasi Film Indonesia, nih) Agama, setidaknya terkait dengan Mesjid Darussalam yang selalu penuh, setidaknya selama jam kerja, sudah seperti shalat Jumat saja.

Secara prosedural... ya, memang cara ITU saja titik beratnya. Substansi dapatlah dinomorduakan dalam urusan ini. Analisis strategi, yang bagiku tidak bisa lain kecuali menggeremang doa-doa dan harapan baik, sebagaimana aku sendiri sangat membutuhkan doa-doa dan harapan baik sebanyak mungkin. Meski terpisah di ujung-ujung magnet jarum kompas, ikatan itu tidak akan pernah hilang. Terlalu banyak waktu yang kami habiskan bersama. Terlalu banyak suka duka. Semoga Allah menolong kami semua. Kasihanilah kami, Oh Allah, kami mahlukMu yang lemah tak berdaya.

Lalu hidangan-hidangan prasmanan yang sudah jelas dipersiapkan oleh suatu katering atau semacamnya. Otsorsing mungkin. Kudapan-kudapan juga bolehlah, meski entah mengapa teh tidak di situ tidak di hotel rasanya sama. Tidak enak. Apalagi ditambahi krimer cair yang membuat perut panas saja. Minum air putih, karenanya, menjadi alternatif yang sangat masuk akal meski akibatnya pipis-pipis terus. Kantuk tidak pernah menjadi masalah kecuali di hari kedua yang sampai malam itu. Sampai terpaksa menahan leher dengan gulungan karpet, begitu saja di lantai mesjid.

Selebihnya, sungguh senang hari pertama ketika pulang ada Istri Tersayang. Kurasa tidak ada yang lebih menyamankan hati daripada itu. Pulang kepada orang-orang yang disayangi. Ada semua pada saat itu. Sesampainya di Jalan Radio, kami masih sempat berboncengan Pario. Cantik tadinya minta bakso, tetapi ternyata tidak ada bakso di Barito. Setelah membeli tiga plastik bubur ayam, segera balik arah ke Radio Dalam dan mampir dulu di Salero Ajo. Entah mengapa ia sepi, sedangkan yang di depan ex-Circle K justru ramai.

Selebihnya, ini urusan antara lelaki dan rembulan. Antara Monas dan Wantannas. Hari ketiga itu bahkan pulang sudah tidak kuat. Kepala sakit sekali, apakah karena makan terburu-buru. Mencongklang Pario hanya sampai Kemang dan balik bakul, meski telinga sudah disumpal al-Baqarah. Tidak lama setelah sampai di Jalan Radio, menyalakan AC sebentar maka tertidurlah untuk bangun keesokan paginya. Alhamdulillah segar sehat bugar. Mampir dulu di kampus, bertemu dengan Para Tamtama, masih sempat makan mie jamur pangsit rebus. Pulang. Pulang. Lelaki pulang.

No comments: