Friday, May 02, 2014

Sudah Waktunya Mengucap Selamat Tinggal


Assalamu'alaikum. Ini adalah kali pertama aku mengetik, benar-benar mengetik, menggunakan Asus X450C-ku; dan hal pertama yang kupilih untuk diketik adalah... suatu entri di Kemacangondrongan, naturally. [Ooh... mungkin aku memang membutuhkan dunia yang lebih besar dari ini... seperti kata El Debarge] Entah mengapa, aku, bila menulis sebuah entri di sini, merasa seperti benar-benar menulis untuk diriku sendiri; dan Alhamdulillah... internet malam ini lumayan lancar. Ini baru sempurna, mengetik di laptop sendiri, dengan internet sendiri, di rumah sendiri, mengenai isi kepala sendiri. Sempurna. Sesuai dengan rasa hatiku sendiri. Siapa tahu, ya, siapa tahu, dengan menulis sebuah entri, aku akan semangat menulis... entri-entri lainnya hahaha.

Terkadang aku terpikir, namanya menulis itu ya menulis, dengan tangan, dengan bolpoin, di atas kertas. Sampai hari ini, sampai baru-baru ini, aku masih tertarik melihat buku tulis yang agak tebal. Ide menulis buku harian, benar-benar menulisinya, selalu menarik hatiku. Bukan mengetik, menulis, dan itu terasa lebih pribadi. Lebih akrab. Lebih intim, dibandingkan dengan mengetik begini. Akan tetapi, menulis harus dibiasakan, dan sebagian besar tulisanku harus bisa dicetak atau di-email. Yah, baiklah, begini saja. Mungkin memang sudah waktunya mengucap selamat tinggal pada buku tulis tebal. Selamat tinggal, Sayang. Biarlah kulepas perlahan genggamanmu yang lemah dan semakin lemah. Terima kasih atas segala yang pernah kauberikan, kebersamaan kita, segala suka, duka, tawa, canda, air mata... [sambil menghapusnya dari pipimu]

Malam Sabtu akhirnya menjadi pilihan juga untuk bercinta, selain Malam Minggu yang kepalang terkenal jauh sebelumnya. Duhai lelaki perempuan di luar sana di seluruh dunia, adakah di antara kalian, lelaki yang tidak punya perempuan, perempuan yang tidak punya lelaki? [well, aku tidak peduli pada kemungkinan variasi lainnya] Adakah di antara kalian yang, seperti Togar Tanjung, tidak punya perempuan? Tidak menjadi apa, Gar. Kau lelaki, sejak kau suka berada di pangku Ibumu, sejak kau suka didekapnya, kau sudah lelaki; dan lelaki akan selalu sendiri. Sendiri! Jih, [meludah gaya Hamid Arief] lelaki macam apa yang butuh bersama?! Namun perempuan memang sebaiknya bersama, bersama dengan lelaki yang mencintainya; yang cintanya padanya selamanya, yang hatinya diberikan padanya sepenuhnya. Togar muda memang harus sendiri. Nanti, jika ia tua dan punya anak apalagi cucu, barulah ia boleh minta ditemani. Sekarang, ia HARUS sendiri!

...sehingga bertemu dengan Penciptanya. Sebelum ini aku memang tidak benar-benar mengetik. Aku hanya menyunting dan menata-letak, sambil membaca dan berusaha memberi judul untuk tiap-tiap maqalah. Aku melihat buku yang sama di TGA Margo, diberi judul apa ya, aku lupa; semacam pencari Tuhan begitu. Namun aku tiada sur melihatnya. Aku sendiri berencana memberi judul "80 Jam Membacanya, 80 Jaman Mengamalkannya." Halah, jelek pun. Sungguh aku merasa tidak pantas bahkan sekadar menyebut judulnya saja. Padahal, buku itu, risalah itu, pernah memberikanku hidup yang baru, bersama yang satunya lagi. Subhanallah! Togar siang ini shalat Jumat di sisi kiriku, dan ia pun ikut berdiri mengerjakan shalat ghaib setelahnya. Mungkin memang harus kuselesaikan buku itu, seperti janjiku pada Togar dan Farid. Akan kuserahkan pada mereka ketika Farid ulang tahun Juni nanti. Insya Allah.

No comments: