Penggambarannya saja sudah heroik begini. Mengapa penggambaran selalu harus di bawah paragraf pertama, sedang aku menginginkanmu untuk menginginkanku. Uah, baru begini saja sudah terasa seperti meletus. Kentus itu ternyata nama lain dari kintel, meski tidak ada itu kemintel. Setu legi singkatan dari setengah tuwa lemu ginuk-ginuk. Uah lagi, gara-gara Nyonya Cahaya Purnama, tapi bukan Veronica apalagi Puput Nastiti Devi. Hanya saja, memang tidak pernah hujan di California selatan, menuju cahaya kota, tidak apa-apa, oom pasti bayar, 'man-teman.
Entri, 'Gar, memang tidak untuk dimengerti, apalagi kalau sampai terbaca oleh anak-anak. Ini memang bacaan dewasa yang lebih elit dari Matra, Popular, apalagi segala Majalah UntukNya itu. Tolol itu semua. Jika pun ada yang mendekati, mungkin majalah sastra Horison [halah!]. Entri gunanya untuk dicaci dan dibedaki, dimaki lalu dikecupi, dilumuri tahi. Ada doa-doa terselisip di antara-antaranya, di sela-menyela matangkep. Entri harus membuncah membahana, berbusa-busa tidak seperti demagog tua buang nafas, tetapi pestol gombyor dilumuri sabun dikocok-kocoknya.
Albert Einstein bahkan Leonardo da Vinci sekalipun jika melakukannya pasti tampak bersahaja. Coba kau bayangkan, pilih salah satu, Albert atau Leonardo, atau kau lebih suka Sir Isaac Newton, boleh juga, 'ngampar di kloset jongkok dengan pestol gombyor berbusa-busa sabun atau shampoo clear menthol yang bikin semriwing persis Patrick Ewing. Untunglah aku ditenangkan kembali oleh penyatuan kembali. Jika tidak, hampir saja 'ku olok-olok pula Kota Takakura dan Ryuzo Tanokura. Di sini 'ku amangkan sebatang ranting kering yang 'ku temukan di tengah jalan. 'Ku menantang.
Kentang ketantang Susi Cola. Ada juga Crepe Suzette dan tentu saja kaget 'nyemprot. Bersama ini 'ku kembali ke ruang hidup di Jalan Yado 2 Nomor E4 di bulan-bulan terakhir 1990 atau awal 1991. Petang setelah maghrib dan berhujan. Sholatkah aku ketika itu, sungguh aku lupa. Hanya saja 'ku ingat di ruang depan pavilyun 'ku tengadahkan wajahku seakan-akan Tuhan berada di langit-langit. 'Ku lakukan lagi yang seperti itu sekitar tiga tahun kemudian di 1994, kali ini mungkin di Graha 5 atau bahkan kepada langit malam penuh berbintang di lapangan sepak bola itu.
Adakah sabtu-sabtu di taman mana. Taman itu tidak ada namanya, yang di depan Sportcentrum Vrije Universiteit Amsterdam itu, meski adanya di Amstelveen. Entah berapa kali 'ku kelilingi taman itu ketika tinggal di situ antara Januari sampai September 2020, atau sekadar 'ku lalui antara Maret sampai Desember 2018. Tidak ada yang berkesan kecuali bunga-bunga ceri bermekaran. Selebihnya mahasiswi-mahasiswi kebanyakan kaukasian berguling-guling bercengkerama bersenda-canda di situ, dan tentu saja Amstelveen Snack meski tidak tepat di taman itu tujuan utama.
Lho, mengapa jadi pantai-pantai mengantuk begini, sedang aku sulit sekali menahan mata tetap terbuka sambil menonton akademi-akademi militer di Amerika Serikat. Biarlah, sambil mengulum permen jahe gancet, sedang Bang Ade Sobari tidak henti-hentinya gerak badan dari pagi tadi, bergaul dengan tanam-tanaman, 'ku teruskan mengitiki, jika pun sekadar agar tidak jatuh tertidur terkantuk-kantuk. Pantai-pantai mengantuk sudah sampai pada akhirnya, kejutan apa yang akan aku hadapi kini. Dari sekarang, kau hanya seseorang yang biasa 'ku cintai. Aduhai, sedih sekali.
Entah mengapa tadi 'ku berhenti malah melahap garang asem kacang panjang dengan sedikit nasi dan telur asin yang kuningnya masir berminyak. Seperti biasa, air dari lambung naik kembali alias reflux lewat kerongkongan menggelitik pangkal tenggorokan, membuat batuk-batuk. Begitulah maka aku berakhir menonton mengenai akademi-akademi militer di Amerika Serikat, sedang sisa kerupuk bawang dari kulkas 'ku tamatkan juga. Begini saja isi entri-entri aku tak peduli, seperti tak satu pun peduliku. Cantik terbangun ingin makan solar atau hokben atau ricis.
Entri, 'Gar, memang tidak untuk dimengerti, apalagi kalau sampai terbaca oleh anak-anak. Ini memang bacaan dewasa yang lebih elit dari Matra, Popular, apalagi segala Majalah UntukNya itu. Tolol itu semua. Jika pun ada yang mendekati, mungkin majalah sastra Horison [halah!]. Entri gunanya untuk dicaci dan dibedaki, dimaki lalu dikecupi, dilumuri tahi. Ada doa-doa terselisip di antara-antaranya, di sela-menyela matangkep. Entri harus membuncah membahana, berbusa-busa tidak seperti demagog tua buang nafas, tetapi pestol gombyor dilumuri sabun dikocok-kocoknya.
Albert Einstein bahkan Leonardo da Vinci sekalipun jika melakukannya pasti tampak bersahaja. Coba kau bayangkan, pilih salah satu, Albert atau Leonardo, atau kau lebih suka Sir Isaac Newton, boleh juga, 'ngampar di kloset jongkok dengan pestol gombyor berbusa-busa sabun atau shampoo clear menthol yang bikin semriwing persis Patrick Ewing. Untunglah aku ditenangkan kembali oleh penyatuan kembali. Jika tidak, hampir saja 'ku olok-olok pula Kota Takakura dan Ryuzo Tanokura. Di sini 'ku amangkan sebatang ranting kering yang 'ku temukan di tengah jalan. 'Ku menantang.
Kentang ketantang Susi Cola. Ada juga Crepe Suzette dan tentu saja kaget 'nyemprot. Bersama ini 'ku kembali ke ruang hidup di Jalan Yado 2 Nomor E4 di bulan-bulan terakhir 1990 atau awal 1991. Petang setelah maghrib dan berhujan. Sholatkah aku ketika itu, sungguh aku lupa. Hanya saja 'ku ingat di ruang depan pavilyun 'ku tengadahkan wajahku seakan-akan Tuhan berada di langit-langit. 'Ku lakukan lagi yang seperti itu sekitar tiga tahun kemudian di 1994, kali ini mungkin di Graha 5 atau bahkan kepada langit malam penuh berbintang di lapangan sepak bola itu.
Adakah sabtu-sabtu di taman mana. Taman itu tidak ada namanya, yang di depan Sportcentrum Vrije Universiteit Amsterdam itu, meski adanya di Amstelveen. Entah berapa kali 'ku kelilingi taman itu ketika tinggal di situ antara Januari sampai September 2020, atau sekadar 'ku lalui antara Maret sampai Desember 2018. Tidak ada yang berkesan kecuali bunga-bunga ceri bermekaran. Selebihnya mahasiswi-mahasiswi kebanyakan kaukasian berguling-guling bercengkerama bersenda-canda di situ, dan tentu saja Amstelveen Snack meski tidak tepat di taman itu tujuan utama.
Lho, mengapa jadi pantai-pantai mengantuk begini, sedang aku sulit sekali menahan mata tetap terbuka sambil menonton akademi-akademi militer di Amerika Serikat. Biarlah, sambil mengulum permen jahe gancet, sedang Bang Ade Sobari tidak henti-hentinya gerak badan dari pagi tadi, bergaul dengan tanam-tanaman, 'ku teruskan mengitiki, jika pun sekadar agar tidak jatuh tertidur terkantuk-kantuk. Pantai-pantai mengantuk sudah sampai pada akhirnya, kejutan apa yang akan aku hadapi kini. Dari sekarang, kau hanya seseorang yang biasa 'ku cintai. Aduhai, sedih sekali.
Entah mengapa tadi 'ku berhenti malah melahap garang asem kacang panjang dengan sedikit nasi dan telur asin yang kuningnya masir berminyak. Seperti biasa, air dari lambung naik kembali alias reflux lewat kerongkongan menggelitik pangkal tenggorokan, membuat batuk-batuk. Begitulah maka aku berakhir menonton mengenai akademi-akademi militer di Amerika Serikat, sedang sisa kerupuk bawang dari kulkas 'ku tamatkan juga. Begini saja isi entri-entri aku tak peduli, seperti tak satu pun peduliku. Cantik terbangun ingin makan solar atau hokben atau ricis.