Sunday, July 06, 2025

Jika Kau Tak di Sini, di Sisiku, Hanya Cintamu ['Ku]


Penggambarannya saja sudah heroik begini. Mengapa penggambaran selalu harus di bawah paragraf pertama, sedang aku menginginkanmu untuk menginginkanku. Uah, baru begini saja sudah terasa seperti meletus. Kentus itu ternyata nama lain dari kintel, meski tidak ada itu kemintel. Setu legi singkatan dari setengah tuwa lemu ginuk-ginuk. Uah lagi, gara-gara Nyonya Cahaya Purnama, tapi bukan Veronica apalagi Puput Nastiti Devi. Hanya saja, memang tidak pernah hujan di California selatan, menuju cahaya kota, tidak apa-apa, oom pasti bayar, 'man-teman.
Entri, 'Gar, memang tidak untuk dimengerti, apalagi kalau sampai terbaca oleh anak-anak. Ini memang bacaan dewasa yang lebih elit dari Matra, Popular, apalagi segala Majalah UntukNya itu. Tolol itu semua. Jika pun ada yang mendekati, mungkin majalah sastra Horison [halah!]. Entri gunanya untuk dicaci dan dibedaki, dimaki lalu dikecupi, dilumuri tahi. Ada doa-doa terselisip di antara-antaranya, di sela-menyela matangkep. Entri harus membuncah membahana, berbusa-busa tidak seperti demagog tua buang nafas, tetapi pestol gombyor dilumuri sabun dikocok-kocoknya.

Albert Einstein bahkan Leonardo da Vinci sekalipun jika melakukannya pasti tampak bersahaja. Coba kau bayangkan, pilih salah satu, Albert atau Leonardo, atau kau lebih suka Sir Isaac Newton, boleh juga, 'ngampar di kloset jongkok dengan pestol gombyor berbusa-busa sabun atau shampoo clear menthol yang bikin semriwing persis Patrick Ewing. Untunglah aku ditenangkan kembali oleh penyatuan kembali. Jika tidak, hampir saja 'ku olok-olok pula Kota Takakura dan Ryuzo Tanokura. Di sini 'ku amangkan sebatang ranting kering yang 'ku temukan di tengah jalan. 'Ku menantang. 

Kentang ketantang Susi Cola. Ada juga Crepe Suzette dan tentu saja kaget 'nyemprot. Bersama ini 'ku kembali ke ruang hidup di Jalan Yado 2 Nomor E4 di bulan-bulan terakhir 1990 atau awal 1991. Petang setelah maghrib dan berhujan. Sholatkah aku ketika itu, sungguh aku lupa. Hanya saja 'ku ingat di ruang depan pavilyun 'ku tengadahkan wajahku seakan-akan Tuhan berada di langit-langit. 'Ku lakukan lagi yang seperti itu sekitar tiga tahun kemudian di 1994, kali ini mungkin di Graha 5 atau bahkan kepada langit malam penuh berbintang di lapangan sepak bola itu.

Adakah sabtu-sabtu di taman mana. Taman itu tidak ada namanya, yang di depan Sportcentrum Vrije Universiteit Amsterdam itu, meski adanya di Amstelveen. Entah berapa kali 'ku kelilingi taman itu ketika tinggal di situ antara Januari sampai September 2020, atau sekadar 'ku lalui antara Maret sampai Desember 2018. Tidak ada yang berkesan kecuali bunga-bunga ceri bermekaran. Selebihnya mahasiswi-mahasiswi kebanyakan kaukasian berguling-guling bercengkerama bersenda-canda di situ, dan tentu saja Amstelveen Snack meski tidak tepat di taman itu tujuan utama.

Lho, mengapa jadi pantai-pantai mengantuk begini, sedang aku sulit sekali menahan mata tetap terbuka sambil menonton akademi-akademi militer di Amerika Serikat. Biarlah, sambil mengulum permen jahe gancet, sedang Bang Ade Sobari tidak henti-hentinya gerak badan dari pagi tadi, bergaul dengan tanam-tanaman, 'ku teruskan mengitiki, jika pun sekadar agar tidak jatuh tertidur terkantuk-kantuk. Pantai-pantai mengantuk sudah sampai pada akhirnya, kejutan apa yang akan aku hadapi kini. Dari sekarang, kau hanya seseorang yang biasa 'ku cintai. Aduhai, sedih sekali.

Entah mengapa tadi 'ku berhenti malah melahap garang asem kacang panjang dengan sedikit nasi dan telur asin yang kuningnya masir berminyak. Seperti biasa, air dari lambung naik kembali alias reflux lewat kerongkongan menggelitik pangkal tenggorokan, membuat batuk-batuk. Begitulah maka aku berakhir menonton mengenai akademi-akademi militer di Amerika Serikat, sedang sisa kerupuk bawang dari kulkas 'ku tamatkan juga. Begini saja isi entri-entri aku tak peduli, seperti tak satu pun peduliku. Cantik terbangun ingin makan solar atau hokben atau ricis.

Saturday, July 05, 2025

Bapak Keplek-keplek Karena Dikeluarkan dari AAL


Di Sabtu menjelang siang yang terik ini aku kembali menjalani mimpi burukku karena terkena pukulan mega ketujuh, yang dimulai dari anak yang sedang tidur, dilanjutkan jika kau pergi, dan sejauh ini bersimbah air mata. Biar tahu rasa kau 'Gar, ketika menyadari betapa dari penjara ke penjara tidak lebih sekadar macan gondrong. Uah, ternyata dilanjut seperti apa dia. Apakah ini sebelum makan siang, yang mana berarti berangkat pesiar. Aku sampai lupa. Makan siang dulu baru pesiar atau justru sebelum makan siang. Tidak penting, nan terpenting siapkan PDPS.
Kehancuranku sudah dimulai lama sebelumnya, sekarang dan selamanya. Tidak perlu pembenaran apapun, ketika kata Velen aku jenius namun tetap harus diampu Sopuyan. Sedang menjaga kesehatan sendiri saja aku malas, apalagi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih baik aku memijat-mijat jempol kaki sendiri dengan balsem di ruang mampus, dengan alasan melancarkan peredaran darah. Aku jauh lebih menjijikkan daripada itu. Apakah ini waktu yang tepat untuk merasa jijik pada diri sendiri, sedang aku harus 'lakukan sesuatu. Siapa bilang harus.

Obyek-obyek di cermin belakang dapat terlihat lebih dekat daripada sebenarnya ternyata sedih sekali, karena dahulu aku tidak pernah melihat visualisasinya. Setelah 30-an tahun baru 'ku lihat dan ternyata pesawatnya jatuh, terbakar. Mati terbakar seperti Diogo Jota. Aku nyatanya masih hidup sampai detik ini, mengitiki: Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, sebagaimana mafhum kami punya sesuatu yang istimewa di sini di Negeri Burung malam ini: Sebuah rekaman untuk Perusahaan Rekaman Nada-nada Biru, dilanjut lagi oleh adiknya Jacko. Harusnya sudah habis makan. 

Apa pernah aku berada dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Apa ada keadaan yang lebih mengerikan daripada segala kemaluan yang pernah menimpaku di sepanjang hidupku. Bagaimana mungkin menghasilkan apapun yang heroik monumental dalam keadaan besar kemaluan seperti ini. Es vanila mengajak menggulung mereka, untung dilanjut ketika aku jatuh cinta, aku tidak pernah terpikir akan jatuh sejauh ini. Suasana ajaib yang ditimbulkannya, ketika aku jatuh cinta padamu. Padaku siapa cinta. Kengerian semoga tidak lagi pernah aku temui. Apapun bentuk ngerinya.  

Kau membuatku tersenyum tidak pernah 'ku kaitkan dengan Sarasan, justru Mas Gitosh. Mungkin karena terlalu cantik, sedang Sarasan, di belakangnya adalah sarang Mentor Yarli membantai kopral-kopral celaka. Sisi B dari Pukulan Mega Ketujuh ini memang tidak terlalu akrab entah mengapa, meski seingatku adanya hanya ini. Apa pernah benar-benar diganti dalam bulan-bulan itu, akhir 1994 sampai pertengahan 1995, maka aku tidak tahu Diana Ross menyanyikan puji-pujian bagi keajaiban cintamu. Ini juga, entah bagaimana, tidak tergandengkan dengan Sarasan. 

Apalagi dua terakhir dari teka-teki dan pembangunan yang tertahan, sama sekali tidak ada ingatanku mengenainya. Ya Allah, baru 'ku tahu Mentor Yarli sudah berpulang 28 Februari ini. Sekarang sudah masuk waktu dhuhur namun masih tersisa sekitar satu setengah paragraf lagi. Ya sudah 'ku selesaikan dulu saja. Sungguh menjengkelkan menunda-nunda menyelesaikan entri jelek, karena memang tidak pernah ada entri bagus. Entri heroik atau estetik mungkin ada. Entri bagus tidak akan pernah ada. Apa ini semua hanya asal goblek asal ngomyang. Peduli apa padaku siapa.

Entri ini adalah suatu refleksi eksistensial terhadapku sendiri sebagai seorang bapak yang keplek-keplek. Wajarlah jika aku berkhayal jadi bapak-bapak, lha wong mentor Yarli saja sudah meninggal. Aku yang masih hidup ini berusaha entah apa-apa, sedang di luar sepertinya cuaca sudah tidak seterik tadi, bahkan mendung kini. Musim kemarau basah apakah seperti lumpia basah atau apapun lainnya yang basah-basah, apa pernah 'ku lalui, ketika mesjid UI sudah berubah NU dari sebelumnya musholah. Lho ini mesjid atau musholah. Itu uniknya selama 20 tahunan.